Sastra
Indonesia merupakan unsur bahasa yang terdapat di dalam bahasa
Indonesia. Berdasarkan garis
besarnya, sastra berarti bahasa
yang indah atau tertata dengan baik dengan gaya penyajian yang menarik, sehingga berkesan di hati pembacanya. Namun kebanyakan masyarakat tidak
mengerti apa yang dimaksud dengan sastra. Kebanyakan orang menyamakan antara sastra dan bahasa. Dalam sastra Indonesia sendiri banyak sekali bagian-bagiannya. Secara
garis besar sastra Indonesia terbagi menjadi
dua yaitu sastra lama dan sastra baru/ modern.
Dari sekian banyak sastra, seperti
puisi, cerpen, novel, pantun, gurindam prosa dan sebagainya dan di antara
jenis-jenis karya sastra tersebut memiliki ciri-ciri dan definisi
masing-masing.
Timbulnya bahasa-bahasa Nusantara
dan sastra merupakan unsur yang integral dari kebudayaan, khususnya kebudayaan
ekspresif. Nenek moyang bangsa Indonesia dari daratan Asia Tenggara dan
berimigrasi ke pulau Nusantara, yang berasal dari runtun bangsa Austronesia dan
terpencar di berbagai pulau Nusantara Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kondisi alam dan lingkungan geografis masing-masing. Kebudayaan
Nusantara memiliki ciri khas kenusantaraannya yaitu Bhineka Tunggal Ika.
A. Pengertian Sastra
Berdasarkan
asal usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu susastra.
Su berarti bagus atau indah, sedangkan Sastra berarti buku, tulisan atau huruf.
Berdasarkan kedua kata itu, Susastra diartikan dengan
“Tulisan yang Indah”.
Sastra
indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia,
yaitu ketika bahasa Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan,
yakni pada acara Sumpah Pemuda tahun 1928.
Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis dalam
bahasa Indonesia.
Karya-karya
sastra yang lahir sebelum tahun 1928 disebut karya sastra Nusantara.
Sastra Nusantara tersebut termasuk karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa
daerah Jawa, Sunda, Batak, Padang, Aceh, Melayu, dan sebagainya yang ada di seluruh Nusantara. Kelahiran
Sastra Indonesia bertolak dengan direalisasikan oleh para Pujangga Baru lewat
majalah “Pujangga Baru”. Dalam sejarah sastra Indonesia, dikenalkan pula
istilah “angkatan”, yaitu suatu usaha pengelompokan sastra dalam suatu masa
tertentu. Pengelompokan tersebut berdasarkan ciri-ciri khas karya-karya sastra
yang dilahirkan oleh para pengarang pada masanya, yang berbeda dengan
karya-karya sebelumnya.
Istilah
tersebut kemudian mengalami perkembangan. Kesusastraan tidak hanya berupa
tulisan, tetapi ada pula yang berbentuk lisan. Karya semacam itu dinamakan
dengan sastra lisan. Oleh karena itu, sekarang yang dinamakan dengan
kesusastraan meliputi karya sastra lisan dan tertulis dengan ciri
khasnya terdapat pada keindahan bahasanya.
Berdasarkan
definisi tersebut, beberapa ahli kemudian menyebutkan ciri-ciri
karya sastra sebagai berikut:
1. Bahasanya indah atau tertata dengan baik.
2.
Isinya menggambarkan manusia
dengan berbagai persoalannya.
3.
Gaya penyajiannya menarik
sehingga berkesan di hati pembacanya.
B. Fungsi Sastra
Banyak
fungsi atau manfaat dengan membaca karya-karya sastra, antara lain sebagai
berikut:
1.
Fungsi Reaktif, dengan membaca karya sastra, seseorang dapat
memperoleh kesenangan atau hiburan.
2.
Fungsi Didaktif, dengan membaca karya sastra,
seseorang dapat memperoleh wawasan pengetahuan tentang seluk-beluk kehidupan
manusia. Seseorang juga dapat memperoleh
pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dalamnya.
3.
Fungsi Estetis, yaitu manfaat yang dapat
memberikan keindahan bagi pembacanya, karena
sastra itu indah.
4.
Fungsi Moralitas, yaitu manfaat yang dapat
membedakan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya, karena sastra yang
baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.
5.
Fungsi Religiusitas, yaitu manfaat yang mengandung
ajaran-ajaran agama yang harus dan wajib
diteladani oleh para pembacanya.
C. Ragam Sastra
a.
Berdasarkan
bentuknya, sastra dibagi menjadi empat yaitu prosa, puisi, prosa liris dan drama.
1.
Prosa, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas
dan panjang, menggunakan aturan-aturan atau kaidah-kaidah seperti dalam puisi.
2.
Puisi, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang singkat
dan padat serta indah. Khusus puisi lama, selalu terikat oleh aturan atau
kaidah-kaidah tertentu, seperti:
a.
Jumlah baris tiap-tiap
baitnya.
b.
Jumlah suku kata atau kata
dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya.
c.
Irama.
d.
Persamaan bunyi kata dan
irama.
3.
Prosa Liris, yaitu bentuk sastra yang berbentuk puisi, namun
ditulis dengan menggunakan bahasa yang bebas.
4.
Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas
dan panjang, serta dilukiskan dengan menggunakan dialog atau monolog. Selain drama dalam bentuk
naskah, ada juga drama yang dipentaskan.
b.
Berdasarkan
isi, sastra dapat dibagi menjadi empat macam yaitu :
1.
Epik, yaitu karya sastra yang isinya tidak mempertimbangakan hal baik atau buruk bagi perasaan pembacanya.
2.
Lirik, yaitu karya sastra yang isinya selalu mengutamakan unsur-unsur subjektifitas dan dengan rasa membagus-baguskan kata atau bahasanya.
3.
Didaktif, yakni karya sastra yang isinya selalu condong untuk tujuan mendidik para
pembaca. Isinya bisa masalah moral, tata krama, dan masalah-masalah agama.
4.
Dramatik, yakni karya sastra yang isinya selalu dilukiskan dengan menggebu-gebu, baik
itu masalah menyedihkan atau menggembirakan.
D. Pembagian
Periode Sastra
Berdasarkan
sejarahnya, sastra dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu sastra lama dan sastra baru.
1. Sastra Lama
Sastra lama,
sering juga disebut dengan kesusastraan klasik atau tradisional (Sastra Melayu). Zaman berkembangnya
kesusastraan klasik ini ialah sebelum masuknya pengaruh Barat ke Indonesia atau bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye, Aceh. Bentuk-bentuk
kesusastraan yang berkembang adalah dongeng, mantra, pantun, dan sejenisnya.
a. Ciri-ciri sastra lama.
1)
Anonim.
2)
Istana sentries.
3)
Tema karangan bersifat
fantastis.
4)
Karangan berbentuk tradisional.
5)
Proses perkembangannya statis.
6)
Bahasa klise.
b. Kesusastraan lama dibagi
menjadi empat:
1)
Kesusastraan Zaman Purba.
2)
Kesusastraan Zaman Hindu-Budha.
3)
Kesusastraan Zaman Islam.
4)
Kesusastraan Zaman Arab-Melayu.
c. Jenis-Jenis Karya Sastra Lama
1.
Mantra
Mantra
merupakan karya sastra lama yang berisi pujian-pujian terhadap sesuatu yang ghaib atau
yang dikeramatkan, seperti dewa, roh dan binatang. Mantra biasanya
diucapkan oleh pawang atau dukun sewaktu melakukan upacara
keagamaan ataupun ketika berdoa. Contohnya mantra bertanam padi.
2.
Pantun
Pantun
merupakan puisi lama yang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Baris pertama dan kedua
merupakan sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempatnya adalah isi. Bunyi terakhir pada kalimat-kalimanya berpola a-b-a-b.
Dengan
demikian, bunyi akhir pada kalimat ketiga dan bunyi akhir kalimat kedua sama
dengan bunyi akhir pada kalimat keempat.
3.
Gurindam
Gurindam
disebut juga sajak peribahasa
atau sajak dua seuntai. Gurindam memiliki beberapa persamaan dengan
pantun yakni pada isinya. Gurindam banyak mengandung nasehat atau pendidikan, terutama
yang berkaitan dengan masalah keagamaan.
Gurindam
terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama berhubungan langsung dengan kalimat
keduanya. Kalimat pertama selalu menyatakan pikiran atau peristiwa, sedangkan kalimat keduanya
menyatakan keterangan atau penjelasannya. Pengarang terkenal gurindam adalah
Raja Ali Haji.
4.
Syair
Syair adalah bentuk puisi klasik yang merupakan pengaruh kebudayaan Arab. Dilihat dari jumlah barisnya, syair hampir
sama dengan pantun, yakni sama-sama terdiri atas empat baris. Perbedaannya
terletak pada persajakan. Pantun bersajak a-b-a-b, sedangkan syair
bersajak a-a-a-a. Selain itu, pantun memiliki sampiran, sedangkan syair tidak memilikinya.
5.
Dongeng
Binatang
Dongeng
binatang atau fabel adalah cerita yang tokoh-tokohnya berupa binatang
dengan peran layaknya manusia. Binatang-binatang itu dapat berbicara, makan, minum, berkeluarga sebagaimana halnya dengan manusia.
Fabel tidak
hanya dikenal di masyarakat nusantara,
melainkan hampir dikenal di seluruh dunia. Bila pelaku popular fabel pada
masyarakat Melayu itu adalah Kancil, maka di Jawa Barat adalah Kera, di Eropa adalah Serigala dan di Kamboja adalah Kelinci.
6.
Legenda
Legenda atau
dongeng tentang asal-usul, terbagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai berikut:
a)
Cerita asal-usul
tumbuh-tumbuhan, misalnya asal usul padi, asal-usul pohon jagung, asal-usul pohon pisang.
b)
Cerita asal-usul binatang, contohnya asal usul pertengkaran kucing dengan anjing, asal-usul kuda
tidak bertanduk, asal-usul ikan berdarah
merah.
c)
Cerita asal-usul terjadinya
suatu tempat, misalnya asal-usul dari gunung Tangkuban Perahu, dan
asal-usul Danau Toba.
7.
Dongeng
pelipur lara
Dongeng
pelipur lara ini bersifat komedi, isinya dipenuhi dengan kisah-kisah
lucu.
8.
Hikayat
Hikayat
berasal dari India dan Arab. Hikayat berisikan cerita para dewa, peri pangeran, putri, ataupun kehidupan para bangsawan. Hikayat banyak dipenuhi
cerita-cerita ghaib dan berbagai
kesaktian. Karena tokoh dan
latarnya banyak yang mengambil dari sejarah, cerita terselubung sering disebut cerita sejarah.
2. Sastra Baru
Kesusastraan
baru, yaitu dapat disebut juga sastra baru atau
modern yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Sastra baru
juga dapat diartikan sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing
sehingga sudah tidak asli lagi.
a. Ciri-ciri sastra baru
1.
Pengenal dikenal masyarakat
luas.
2.
Bahasanya tidak klise.
3.
Proses perkembangan dinamis.
4.
Tema karangan bersifat
rasional.
5.
Bersifat modern.
6.
Masyarakat sentris.
b. Kesusastraan Baru Dibagi menjadi:
1.
Kesusastraan Zaman Balai
Pustaka atau Angkatan ’20,
2.
Kesusastraan Zaman
Pujangga Baru atau Angkatan ’30,
3.
Kesusastraan Zaman
Jepang,
4.
Kesusastraan Zaman Angkatan
45,
5.
Kesusatraan Zaman
Angkataan 60, dan
6.
Kesusastraan Zaman Mutakhir
atau Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.
c. Jenis-Jenis Karya Sastra Baru
1. Puisi.
Puisi adalah bentuk karya sastra yang menggunakan kata-kata yang
indah dan kaya makna; Keindahan sebuah puisi
disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama. Kekayaan makna yang terkandung dalam puisi dilatarkan oleh pemadatan
unsur-unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan yang
digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa yang ringkas. Kata-kata yang
digunakan adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran
dan pengertian.
2. Prosa.
Karya sastra
yang berupa cerita bebas. Bentuk prosa pada umumnya merupakan
perpaduan dari monolog dan dialog. Namun ada pula proses yang hanya monolog dan ada pula yang terdiri atas
dialog-dialog.
3. Drama.
Drama
merupakan karya sastra yang diproyeksikan di atas pentas. Berbeda dengan karya sastra lainnya___seperti puisi dan prosa___drama
terbentuk atas dialog-dialog. Karena diproyeksikan untuk pementasan drama
sering pula disebut sebagai seni pertunjukan atau teater.
Karena itu
drama dapat pula diartikan sebagai bentuk karya sastra yang
menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan
emosi melalui kelakuan dan dialog. Lakuan dan
dialog dalam drama tidak jauh berbeda dangan kelakuan dan dialog dalam kehidupan sehari-hari.
E.
Pengaruh
Sastra Nusantara terhadap Sastra Modern dan Kontemporer
a.
Puisi dan Dekonstruksi
Sastra
nusantara memberikan inspirasi baru bagi penyair modern kontemporer antara
lain, Sutardji Calzoum Bachri. Upaya dan perjuangan Sutardji menerobos makna
kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa
dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara
besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang
lebih otentik melalui puisi.
Menurut
Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi,
dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang
membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Bagi
Sutardji, menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan
kata pada mantra adalah mengeluarkan kata dari konveksi makna dan membiarkannya
menemukan kekuatannya sendiri. Pada dasarnya, kata tidak ada hubungan intrinsik
dengan maknanya – suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teori
teoretisi post-modernis – diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran
dalam pantun tidak ada hubungan intrinsik apapun dengan isi puisi. Adalah
menarik bahwa perlawanan yang dilancarkan tidak dilakukan dengan berteori,
tetapi laksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.
b.
Prosa dan Dekonstruksi
Dekonstruksi
teks adalah sebuah konstruksi baru, hasil dari sebuah reinterpretasi terhadap
teks yang ada.
Cerpen
Putu Wijaya yang sudah terbit tidak dibiarkan berhenti dengan titik tetapi lalu
dilanjutkannya sehingga alur cerita mengalir sesuai kehendak Putu Wijaya. Yang
dilakukan bukan hanya melakukan kilatan (alussion), yakni menyinggung karya
Putu Wijaya dalam karyanya tetapi benar-benar masuk dalam karya itu dan
kemudian mencoba mengulurnya serta menyeretnya ke arah lain.
Mendekonstruksi
dongeng yang ada menjadi , sebuah dogeng yang baru yang diupayakan untuk tidak
merusak citra tokoh-tokoh dalam dongeng aslinya. Kita tahu, sejumlah bedaya
menganggap sebuah dongeng adalah sebuah catatan sejarah, sebuah fakta historis
sehingga dilakukan sejumlah aktivitas historis terhadap tokoh-tokoh dalam
dongeng tersebut.
Contoh
dongeng yang didekonstruksi:
1. Kisah
Malin Kundang yang ketika pulang dalam keadaan kaya raya malah mencium kaki
ibunya yang lusuh dan miskin
2. Kisah
Sangkuriang dalam cerpen “Lelaki yang Bertapa di Tepi Telaga”. Dalam cerpen
tersebut tidak terjadi aib saat Sangkuriang jatuh cinta pada ibunya, tetapi
justru anak lelaki yang dibesarkan dengan kasih sayang ibunya itu menyingkir
dan bertapa di pegunungan, kemudian ditunggui oleh ibunya yang sangat sayang
padanya.