Sastra adalah seni, seni dalam hidupku dan hidupmu :)

Minggu, 09 Juni 2013

Hakikat Sastra Nusantara dan Pengaruhnya terhadap Sastra Modern dan Kontemporer



Sastra Indonesia merupakan  unsur  bahasa yang terdapat di dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan  garis besarnya, sastra berarti  bahasa yang indah atau tertata dengan baik dengan gaya penyajian yang menarik, sehingga berkesan di hati pembacanya. Namun kebanyakan masyarakat tidak mengerti apa yang dimaksud dengan sastra. Kebanyakan orang menyamakan antara sastra dan bahasa. Dalam sastra Indonesia sendiri  banyak sekali bagian-bagiannya. Secara garis besar sastra Indonesia terbagi  menjadi dua yaitu sastra lama dan sastra baru/ modern.
Dari sekian banyak sastra, seperti puisi, cerpen, novel, pantun, gurindam prosa dan sebagainya dan di antara  jenis-jenis karya sastra tersebut  memiliki ciri-ciri dan definisi masing-masing.
Timbulnya bahasa-bahasa Nusantara dan sastra merupakan unsur yang integral dari kebudayaan, khususnya kebudayaan ekspresif. Nenek moyang bangsa Indonesia dari daratan Asia Tenggara dan berimigrasi ke pulau Nusantara, yang berasal dari runtun bangsa Austronesia dan terpencar di berbagai pulau Nusantara Indonesia tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi alam dan lingkungan geografis masing-masing. Kebudayaan Nusantara memiliki ciri khas kenusantaraannya yaitu Bhineka Tunggal Ika.
  
A.  Pengertian Sastra
Berdasarkan asal usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa  Sansekerta, yaitu susastra. Su berarti bagus  atau indah, sedangkan Sastra berarti  buku, tulisan atau  huruf. Berdasarkan kedua kata  itu, Susastra diartikan dengan  “Tulisan yang Indah.
Sastra indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia, yaitu ketika bahasa Indonesia pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan, yakni pada acara Sumpah Pemuda tahun 1928. Sejak itulah segala macam kegiatan komunikasi dan berkarya sastra ditulis dalam bahasa Indonesia.
Karya-karya sastra yang lahir sebelum tahun 1928 disebut karya sastra Nusantara. Sastra Nusantara tersebut termasuk karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Jawa, Sunda, Batak, Padang, Aceh, Melayu, dan sebagainya yang ada di seluruh Nusantara. Kelahiran Sastra Indonesia bertolak dengan direalisasikan oleh para Pujangga Baru lewat majalah “Pujangga Baru”. Dalam sejarah sastra Indonesia, dikenalkan pula istilah “angkatan”, yaitu suatu usaha pengelompokan sastra dalam suatu masa tertentu. Pengelompokan tersebut berdasarkan ciri-ciri khas karya-karya sastra yang dilahirkan oleh para pengarang pada masanya, yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya.
Istilah tersebut kemudian mengalami perkembangan. Kesusastraan tidak hanya berupa tulisan, tetapi ada pula yang berbentuk lisan. Karya semacam itu dinamakan  dengan sastra lisan. Oleh karena itu, sekarang  yang dinamakan dengan kesusastraan  meliputi karya sastra lisan dan tertulis  dengan ciri khasnya  terdapat pada keindahan  bahasanya.
Berdasarkan definisi tersebut, beberapa ahli kemudian  menyebutkan  ciri-ciri karya sastra  sebagai berikut:
1.      Bahasanya indah atau tertata dengan baik.
2.      Isinya menggambarkan manusia dengan berbagai persoalannya.
3.      Gaya penyajiannya menarik sehingga berkesan di hati pembacanya.

B.  Fungsi Sastra
Banyak fungsi atau manfaat dengan membaca karya-karya sastra, antara lain sebagai berikut:
1.        Fungsi Reaktif, dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan atau hiburan.
2.        Fungsi Didaktif, dengan membaca karya sastra, seseorang dapat memperoleh wawasan pengetahuan tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Seseorang juga dapat memperoleh pelajaran tentang nilai-nilai kebenaran dan kebaikan di dalamnya.
3.        Fungsi Estetis, yaitu manfaat yang dapat memberikan keindahan bagi pembacanya, karena sastra itu indah.
4.        Fungsi Moralitas, yaitu manfaat yang dapat membedakan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya, karena sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.
5.        Fungsi Religiusitas, yaitu manfaat yang mengandung ajaran-ajaran agama yang harus dan wajib diteladani oleh para pembacanya.

C.  Ragam Sastra
a.    Berdasarkan bentuknya, sastra dibagi menjadi empat yaitu prosa, puisi, prosa liris dan drama.
1.    Prosa, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, menggunakan aturan-aturan atau kaidah-kaidah seperti dalam puisi.
2.    Puisi, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan padat serta indah. Khusus puisi lama, selalu terikat oleh aturan atau kaidah-kaidah tertentu, seperti:
a.    Jumlah baris tiap-tiap baitnya.
b.    Jumlah suku kata atau kata dalam tiap-tiap kalimat atau barisnya.
c.    Irama.
d.   Persamaan bunyi kata dan irama.
3.    Prosa Liris, yaitu bentuk sastra yang berbentuk puisi, namun ditulis dengan menggunakan bahasa yang bebas.
4.    Drama, yaitu bentuk sastra yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang bebas dan panjang, serta dilukiskan dengan menggunakan dialog atau monolog. Selain drama dalam bentuk naskah, ada juga drama yang dipentaskan.

b.    Berdasarkan isi, sastra dapat dibagi menjadi empat macam yaitu :
1.    Epik, yaitu karya sastra yang isinya tidak mempertimbangakan hal baik atau buruk bagi perasaan pembacanya.
2.    Lirik, yaitu karya sastra yang isinya selalu mengutamakan unsur-unsur subjektifitas dan dengan rasa membagus-baguskan kata atau bahasanya.
3.    Didaktif, yakni karya sastra yang isinya selalu condong untuk tujuan mendidik para pembaca. Isinya bisa masalah moral, tata krama, dan masalah-masalah agama.
4.    Dramatik, yakni karya sastra yang isinya selalu dilukiskan dengan menggebu-gebu, baik itu masalah menyedihkan atau menggembirakan.

D.  Pembagian Periode Sastra
Berdasarkan sejarahnya, sastra dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu sastra lama dan sastra baru.
1.    Sastra Lama
Sastra lama, sering juga disebut dengan kesusastraan klasik atau tradisional (Sastra Melayu). Zaman berkembangnya kesusastraan  klasik ini ialah sebelum masuknya pengaruh Barat  ke Indonesia atau bersamaan dengan masuknya agama Islam pada abad ke-13. Peninggalan sastra lama terlihat pada dua bait syair pada batu nisan seorang muslim di Minye, Aceh. Bentuk-bentuk kesusastraan yang berkembang adalah dongeng, mantra, pantun, dan sejenisnya.

a.    Ciri-ciri sastra lama.
1)        Anonim.
2)        Istana sentries.
3)        Tema karangan bersifat fantastis.
4)        Karangan berbentuk tradisional.
5)        Proses perkembangannya statis.
6)        Bahasa klise.

b.   Kesusastraan lama dibagi menjadi empat:
1)        Kesusastraan Zaman Purba.
2)        Kesusastraan Zaman Hindu-Budha.
3)        Kesusastraan Zaman Islam.
4)        Kesusastraan Zaman Arab-Melayu.

c.    Jenis-Jenis Karya Sastra Lama 
1.    Mantra
Mantra merupakan karya sastra lama yang berisi pujian-pujian  terhadap sesuatu yang ghaib atau yang dikeramatkan, seperti dewa, roh dan binatang. Mantra biasanya diucapkan  oleh pawang atau dukun  sewaktu melakukan upacara keagamaan ataupun ketika berdoa. Contohnya mantra bertanam padi.

2.    Pantun
Pantun merupakan puisi lama  yang terdiri dari empat baris  dalam satu baitnya.  Baris pertama dan kedua merupakan  sampiran, sedangkan baris ketiga dan keempatnya adalah isi. Bunyi terakhir pada kalimat-kalimanya  berpola a-b-a-b.
Dengan demikian, bunyi akhir pada kalimat ketiga dan bunyi akhir kalimat kedua sama dengan bunyi akhir  pada kalimat keempat.

3.    Gurindam
Gurindam disebut juga  sajak  peribahasa atau sajak dua seuntai. Gurindam memiliki beberapa  persamaan dengan pantun yakni pada isinya. Gurindam banyak mengandung nasehat atau pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah keagamaan.
Gurindam terdiri atas dua kalimat. Kalimat pertama berhubungan langsung dengan kalimat keduanya. Kalimat pertama selalu menyatakan pikiran atau peristiwa, sedangkan kalimat keduanya menyatakan keterangan atau penjelasannya. Pengarang terkenal gurindam adalah Raja Ali Haji.

4.    Syair
Syair adalah bentuk puisi klasik  yang merupakan pengaruh kebudayaan Arab. Dilihat dari jumlah barisnya, syair hampir sama dengan pantun, yakni sama-sama terdiri atas empat baris. Perbedaannya terletak  pada persajakan. Pantun bersajak a-b-a-b, sedangkan syair bersajak a-a-a-a. Selain itu, pantun memiliki sampiran, sedangkan syair tidak memilikinya.

5.    Dongeng Binatang
Dongeng binatang atau fabel adalah cerita yang tokoh-tokohnya berupa binatang  dengan peran  layaknya manusia. Binatang-binatang itu dapat berbicara, makan, minum, berkeluarga  sebagaimana halnya dengan manusia.
Fabel tidak hanya dikenal di masyarakat nusantara, melainkan hampir dikenal di seluruh dunia. Bila pelaku popular fabel  pada masyarakat Melayu itu adalah Kancil, maka di Jawa Barat adalah Kera, di Eropa adalah Serigala dan di Kamboja adalah Kelinci.


6.    Legenda
Legenda atau dongeng tentang asal-usul, terbagi ke dalam tiga jenis, yakni sebagai berikut:
a)    Cerita asal-usul tumbuh-tumbuhan, misalnya asal usul padi, asal-usul pohon jagung, asal-usul pohon pisang.
b)   Cerita asal-usul binatang, contohnya asal usul pertengkaran kucing dengan anjing, asal-usul kuda tidak bertanduk, asal-usul ikan  berdarah merah.
c)    Cerita asal-usul terjadinya suatu  tempat, misalnya asal-usul dari gunung Tangkuban Perahu, dan asal-usul Danau Toba.

7.    Dongeng pelipur lara
Dongeng pelipur lara ini bersifat  komedi, isinya dipenuhi dengan kisah-kisah lucu.

8.    Hikayat
Hikayat berasal dari India dan Arab. Hikayat berisikan cerita  para dewa, peri pangeran, putri, ataupun kehidupan para bangsawan. Hikayat banyak dipenuhi  cerita-cerita ghaib  dan berbagai kesaktian. Karena tokoh dan latarnya  banyak yang mengambil  dari sejarah, cerita terselubung sering disebut cerita sejarah.

2.    Sastra Baru
Kesusastraan baru, yaitu dapat disebut juga sastra baru atau modern yang hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Sastra baru juga dapat diartikan sastra yang telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga sudah tidak asli lagi.

a.    Ciri-ciri sastra baru
1.    Pengenal dikenal masyarakat luas.
2.    Bahasanya tidak klise.
3.    Proses perkembangan dinamis.
4.    Tema karangan bersifat rasional.
5.    Bersifat modern.
6.    Masyarakat sentris.



b.   Kesusastraan Baru Dibagi menjadi:
1.    Kesusastraan  Zaman Balai Pustaka atau Angkatan ’20,
2.    Kesusastraan  Zaman Pujangga Baru atau Angkatan ’30,
3.    Kesusastraan  Zaman Jepang,
4.    Kesusastraan Zaman Angkatan 45,
5.    Kesusatraan  Zaman Angkataan 60, dan
6.    Kesusastraan Zaman Mutakhir atau Kesusastraan setelah tahun 1966 sampai sekarang.

c.    Jenis-Jenis  Karya Sastra Baru
1.    Puisi.
Puisi adalah bentuk karya sastra  yang menggunakan  kata-kata yang indah dan kaya makna; Keindahan sebuah puisi  disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama. Kekayaan makna yang terkandung dalam puisi dilatarkan  oleh pemadatan unsur-unsur bahasa. Bahasa yang digunakan dalam puisi  berbeda dengan yang digunakan sehari-hari. Puisi menggunakan bahasa  yang ringkas. Kata-kata yang digunakan  adalah kata-kata konotatif, yang mengandung banyak penafsiran dan pengertian.

2.    Prosa.
Karya sastra yang berupa  cerita bebas. Bentuk prosa pada umumnya  merupakan perpaduan  dari monolog dan dialog. Namun ada pula proses yang hanya  monolog dan ada pula  yang terdiri atas dialog-dialog.

3.    Drama.
Drama merupakan karya sastra yang diproyeksikan di atas pentas. Berbeda dengan karya sastra lainnya___seperti puisi dan prosa___drama terbentuk atas dialog-dialog. Karena diproyeksikan untuk pementasan drama sering pula disebut sebagai seni pertunjukan atau teater.
Karena itu drama dapat pula diartikan  sebagai bentuk karya  sastra yang menggambarkan  kehidupan dengan menyampaikan  pertikaian dan emosi  melalui kelakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama  tidak jauh berbeda dangan kelakuan dan dialog dalam kehidupan sehari-hari.



E.  Pengaruh Sastra Nusantara terhadap Sastra Modern dan Kontemporer
a.      Puisi dan Dekonstruksi
Sastra nusantara memberikan inspirasi baru bagi penyair modern kontemporer antara lain, Sutardji Calzoum Bachri. Upaya dan perjuangan Sutardji menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Menurut Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna.
Bagi Sutardji, menulis puisi “adalah mengembalikan kata pada mantra”. Mengembalikan kata pada mantra adalah mengeluarkan kata dari konveksi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri. Pada dasarnya, kata tidak ada hubungan intrinsik dengan maknanya – suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teori teoretisi post-modernis – diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tidak ada hubungan intrinsik apapun dengan isi puisi. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkan tidak dilakukan dengan berteori, tetapi laksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.

b.      Prosa dan Dekonstruksi
Dekonstruksi teks adalah sebuah konstruksi baru, hasil dari sebuah reinterpretasi terhadap teks yang ada.
Cerpen Putu Wijaya yang sudah terbit tidak dibiarkan berhenti dengan titik tetapi lalu dilanjutkannya sehingga alur cerita mengalir sesuai kehendak Putu Wijaya. Yang dilakukan bukan hanya melakukan kilatan (alussion), yakni menyinggung karya Putu Wijaya dalam karyanya tetapi benar-benar masuk dalam karya itu dan kemudian mencoba mengulurnya serta menyeretnya ke arah lain.
Mendekonstruksi dongeng yang ada menjadi , sebuah dogeng yang baru yang diupayakan untuk tidak merusak citra tokoh-tokoh dalam dongeng aslinya. Kita tahu, sejumlah bedaya menganggap sebuah dongeng adalah sebuah catatan sejarah, sebuah fakta historis sehingga dilakukan sejumlah aktivitas historis terhadap tokoh-tokoh dalam dongeng tersebut.


Contoh dongeng yang didekonstruksi:
1.    Kisah Malin Kundang yang ketika pulang dalam keadaan kaya raya malah mencium kaki ibunya yang lusuh dan miskin
2.    Kisah Sangkuriang dalam cerpen “Lelaki yang Bertapa di Tepi Telaga”. Dalam cerpen tersebut tidak terjadi aib saat Sangkuriang jatuh cinta pada ibunya, tetapi justru anak lelaki yang dibesarkan dengan kasih sayang ibunya itu menyingkir dan bertapa di pegunungan, kemudian ditunggui oleh ibunya yang sangat sayang padanya.