Perkembangan
Sastra Karo
Sejak kapankah sastra
Karo ada? Sejauh penelitian yang dilakukan, tidak ada yang tahu pasti tentang
masa perkembangan sastra Karo. Namun, untuk memudahkan penelaahan, perkembangan
sastra Karo dapat dibagi dalam dua masa, yakni Era Klasik dan Era Modern.
a. Era Klasik
Yang dimaksud dengan
Era Klasik, adalah karya sastra yang lahir sebelum 28 Oktober 1928, yang
bercorak cipta kedaerahan. Tema-tema yang di usung, lebih mengedepankan dongeng
dan mitos. Seperti, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan bisa berbicara. Peperangan
antara gunung sibayak dan sinabung. Seperti kisah Ampie Ampio. Ampie ampio
melukiskan suara siulan untuk memanggil burung. Cerita rakyat Karo ini berkisahkan tentang
suami-istri yang berubah menjadi burung. Hal ini dikarenakan anak-anak mereka
sangat malas, suka melawan orangtua dan suka berkelahi satu sama lain. Meskipun
telah dinasehati berkali-kali, tetap saja tidak ada pertobatan dari anak-anak
tersebut. Karena keputusasaan, akhirnya ayah dan ibu mereka berdoa, bersumpah
dan meminta agar takdir kehidupannya dirubah apabila anak-anak mereka tetap
tidak berubah.
Doa ayah dan ibu
tersebut dianggap angin lalu oleh anak-anak mereka. Di penghujung keputusasaan,
akhirnya orangtua mereka meminta kepada Penguasa Kehidupan, agar diri mereka
diubah menjadi burung yang akan terbang kesana-kemari. Sehingga diri mereka
terlepas dari beban penderitaan hidup. AKhirnya, sepasang suami istri tersebut
berubah menjadi sepasang burung.
Semenjak kejadian ini,
perubahan drastis terjadi pada anak-anak mereka yang merasakan kehilangan mendalam.
Mereka sangat menyesali tingkah laku mereka. Yang tadinya malas dan suka
bertengkar, tiba-tiba menjadi akur dan rajin sekali. Setiap senja tiba,
anak-anak mereka selalu bernyanyi sambil menengadah ke langit;
Ampie
ampio, sora kami erlebuh bandu
Ampie
ampio, ulihi kami nande bapa kami
Ampie
ampio, ukur metedeh kami la erngadi-ngadi
Artinya:
Ampie ampio, suara kami
memanggil-manggil dirimu.
Ampie ampio, kembalilah kepada kami
wahai ayah ibu kami
Ampie ampio, rasa rindu di hati kami
datang tiada hentinya
Penyesalan selalu
datang terlambat. Ayah ibu mereka tidak dapat lagi berubah menjadi manusia.
Kisah ini sering dijadikan orangtua sebagai dongeng bagi anak-anak mereka
sebelum tidur. Dongeng ini memiliki amanah utama, agar anak-anak tidak malas,
cinta orangtua dan akur dengan saudara-saudaranya. Amanah tambahan, agar
manusia juga mencintai margasatwa yang ada. Karena di ujung cerita diungkapkan,
anak-anak tersebut tidak lagi mengenal burung yang mana yang menjadi jelmaan
orangtua mereka. Akhirnya, mereka sangat mencintai setiap burung. Dan setiap
senja, mereka menaburkan makanan burung di halaman rumah mereka. Dengan
harapan, dari puluhan burung yang datang untuk makan, dua diantaranya adalah
orangtua mereka.
b. Era Modern
Era Modern ditandai
dengan lahirnya nasionalitas Indonesia dengan pengakuan secara resmi bahasa
Indonesia dan tanah air Indonesia. Meskipun demikian, penulis belum ada
menemukan karya sastra Karo yang bertemakan nasionalitas Indonesia pada masa
tersebut. Walaupun begitu, setidaknya gaung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, juga
membahana ke bumi turang meski terlambat beberapa waktu, karena minimnya sarana
komunikasi. Tema-tema yang diusung, didominasi oleh gambaran kehidupan social
kemasyarakatan.
Pemandangan yang tidak
jauh berbeda juga terjadi pada sastra Indonesia. Beragam pendapat muncul
perihal tonggak kelahiran kesusastraan Indonesia. Menurut pandangan Nugroho
Notosusanto sebagaimana dikemukakan Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Beberapa
Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, 1995, kesusastraan Indonesia
lahir seiring berdirinya organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia yang
pertama, yakni Budi Utomo, pada 20 Mei 1908.
Namun, penentuan
kelahiran tersebut, harus juga didasarkan pada adanya karya sastra nyata, yang
bersifat nasional. Kenyataannya, pada tanggal tersebut belum ada karya sastra
yang bersifat nasional Indonesia. Ada karya sastra yang terbit sekitar tahun
1920 yang telah berciri nasional dengan bahasa Indonesia. Yakni, roman Student
Hidjo karya Mas Marco, 1919 dan Hikayat Kadirun karya Semaun, 1920. Sementara
pengakuan secara resmi perihal bahasa, bangsa dan tanah air Indonesia baru
dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.
Pergumulan dan
kegelisahan perihal bunga rampai sastra daerah dan nasional, tidaklah perlu
dianggap sebagai penghalang. Tetapi akan lebih nikmat bila dijadikan santapan
awal guna menggeluti lebih jauh perihal khasanah sastra. Lebih baik menjaga dan
melestarikan apa yang masih tersisa, sembari tetap mencari apa yang masih
terasa hilang.
Secara tidak langsung,
mau atau tidak mau, sastra Karo merupakan bagian dari sastra Indonesia. Sebab,
khasanah kesusasteraan nasional Indonesia, ditopang oleh kesusasteraan daerah
yang terdapat dari Sabang hingga Merauke. Jadi, yang menjadi substansi
kegelisahan, adalah bagaimana agar Sastra Karo menjadi eksis dan tidak
tenggelam diantara `hiruk pikuk` kesusasteraan di Indonesia.
Agar sastra Karo dapat
dikenal secara nasional dan internasional, maka sastra Karo itu harus memakai
`jalan pengenalan` yang diakui publik sesuai dengan segmen sasaran yang ingin
dicapai. Misalkan, menggunakan bahasa Indonesia untuk tingkat nasional, dan minimal
menggunakan bahasa Inggris untuk kalangan internasional.
Sementara, penilaian
akan kualitas sebuah karya sastra, cenderung bersifat relatif. Karena, ini
tergantung `kaca mata` penelaahan yang dipakai si penerima (pembaca) karya, dan
tergantung bagaimana si pembuat karya menyampaikan pesan melalui karyanya.
Penilaian tersebut berlaku umum. Terlepas dari pergumulan di atas, upaya-upaya
untuk menggali dan mengembangkan karya sastra Karo, baik yang berkembang di Era
Karo Klasik dan Era Karo Modern, perlu terus digalakkan. Karya sastra merupakan
cerminan sosial sebuah peradaban yang mengandung amanah-amanah kehidupan. Sebagaimana
kaidah sastra, maka dia akan berkembang dan tumbuh seiring zamannya.
B.
Folklor, Tradisi Lisan,
Sastra Lisan dan Sastra Tulis (Aksara Karo)
a.
Folklor, Tradisi Lisan
dan Sastra Lisan
Folklor sering dikacaukan dengan tradisi dan
sastra lisan. Sebagai istilah menurut Bouman (1992: 29-30) folklor diadopsi
dari bahasa Jerman (volkskunde), pertama kali digunakan tahun 1846 oleh William
John Thoms. Meskipun demikian dalam perkembangan berikut secara etimologis
leksikal folklore (folklore) dianggap berasal dari bahasa Inggris, dari akar
kata folk (rakyat, bangsa,
kolektivitas tertentu) dan lore (adat
istiadat, kebiasaan). Jadi, lore
adalah keseluruhan aktivitas, dalam hubungan iniaktivitas kelisanan dari folk. Dalam hubungan inilah folklor,
yaitu kelisanan itu sendiri, sebagai oralty
(Ong, 1982) dipertentangkan dengan keberaksaraan, literacy.
Brunvand (dalam Hutomo, 1991: 8) membedakan
folklor menjadi tiga macam, yaiu folklor lisan (verbal folklore), folklor setengah lisan (partly verbal folklore), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklore). Secara praktis
ketiganya dapat dikenali melalui bentuk masing-masing, yaitu oral (mentifact), sosial (socifact), dan material (artifact).
Folklor lisan terdiri atas ungkapan tradisional (pepatah, pribahasa, semboyan),
nyanyian rakyat, bahasa rakyat, teka-teki, dan cerita rakyat. Folklor setengah
lisan, di antaranya: drama rakyat, tari, upacara, permainan dan hiburan rakyat,
dan pesta rakyat. Folklor nonlisan, di antaranya: material (mainan, makanan,
arsitektur, alat-alat musik, pakaian, perhiasan, obat-obatan, dan sebagainya)
dan bukan material (bunyi musik, bahasa isyarat). Folklor lisan dalam hubungan
ini disamakan dengan sastra lisan, sedangkan folklor setengah lisan dan
nonlisan termasuk tradisi lisan.
Dalam hal ini
yang dipermasalahkan adalah dua istilah terakhir, yaitu tradisi dan sastra
lisan. Secara definisi tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat
yang hidup secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan
secara lisan. Jadi, tradisi lisan membicarakan tradisinya, sedangkan sastra
lisan masalah sastranya. Sebagai sumber informasi antropologi sastra jelas
berkaitan baik dengan tradisi lisan maupun sastra lisan. Artinya, dalam proses
kreatif, kedua objek, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
menyumbangkan berbagai masalah dalam rangka penyusunan suatu karya sastra.
b.
Ciri-ciri dan Bentuk
Sastra Lisan
Tidak hanya sastra lisan Karo, tetapi semua
sastra-sastra daerah pasti memiliki ciri-ciri. Berikut ini adalah ciri-ciri
sastra lisan.
v Penyebarannya dilakukan
dari mulut ke mulut. Oleh karena itu pula pada umumnya terdiri atas beberapa
versi dan tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas untuk menyalinnya.
v Pada umumnya hidup dalam
masyarakat tradisional.
v Dianggap sebagai milik
masyarakat bersama.
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa sastra
lisan hidup subur di wilayah-wilayah yang tradisi tulisnya belum maju.
Menurut bentuknya,
sastra lisan Karo itu dapat dibedakan atas tiga bentuk yaitu:
1.
Bentuk
puisi
2.
Bentuk
prosa liris
3.
Bentuk
prosa
1.
Bentuk Puisi
v
NdungNdungen, Dapat
disamakan dengan pantun Melayu, biasanya terdiri dari 4 baris bersajak abad.
Dua baris pertama berisi sampiran dan dua baris terakhir merupakan isi.
Contoh:
Ø
Isuan
buluh belin :
Ditanam bambu besar
Tehndu bulung pagi man rabin :
Kamu tahu daun yang harus dibersihkan
Adi sereh kam man parang mbelin :
Kalau kamu kawin dengan duda
Kam naring pagi man tami-tamin :
Hanya kamu nanti yang dipuja-puja
Ø
Mehuli
page i Sabah Lulang : Bagus padi di Sawah Lulang
Ulin denga pagi i Bekilang : Lebih bagus padi di Bekilang
Mesui tading melumang :
Sakit hidup yatim piatu
Suin
denga si kita sirang :
Lebih sakit lagi kita berpisah
v
Cakap lumat atau ‘bahasa halus’ yang penuh dengan bahasa kias, pepatah pepitih,
perumpamaan, pantun, teka-teki, dan lain-lain.
a.
Bahasa
Kias
Ø
Contoh:
Biang nangko beltu-beltu, kambing ipekpeki
Artinya: Anjing yang mencuri daging, kambing yang dipukuli
Artinya: Anjing yang mencuri daging, kambing yang dipukuli
“Dikiaskan kepada
orang yang menghukum orang yang tidak bersalah, lain yang bersalah, lain yang
mendapat hukuman.”
Ø
Contoh:
Pengindo sikaciwer, adi udan erkubang-kubang adi lego rabu-abu.
Artinya: Nasib kencur, bila hujan berkubang-kubang, bila kemarau berabu-abu.
Artinya: Nasib kencur, bila hujan berkubang-kubang, bila kemarau berabu-abu.
“Dikiaskan kepada
orang yang selalu mendapat kesusahan (pikiran kusut).”
b.
Pepatah-petitih
Ø
Contoh:
Adi pang ridi ula mbiar litap
Artinya: kalau berani mandi jangan takut basah
Maksudnya: kalau berani melakukan sesuatu perbuatan harus berani pula menanggung resikonya.
Artinya: kalau berani mandi jangan takut basah
Maksudnya: kalau berani melakukan sesuatu perbuatan harus berani pula menanggung resikonya.
Ø
Contoh:
Siksik lebe maka tindes
Artinya: Dicari terlebih dahulu baru dibunuh
Maksudnya: pikirkan terlebih dahulu baru diambil keputusan.
Artinya: Dicari terlebih dahulu baru dibunuh
Maksudnya: pikirkan terlebih dahulu baru diambil keputusan.
c.
Perumpamaan
Ø
Contoh:
Bagi nimai buah parimbalang, erbunga pe lang apai ka erbuah.
Artinya: Seperti menanti buah parimbalang, berbunga pun tidak konon pula berbuah.
Artinya: Seperti menanti buah parimbalang, berbunga pun tidak konon pula berbuah.
“Diumpamakan kepada
orang yang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin diperoleh.”
Ø
Contoh:
Bagi kurmak sampe rakit, nggeluh erpala-pala mate terbiar-biar.
Artinya: Seperti kerakap tumbuh di batu hidup segan mati tak mau.
Artinya: Seperti kerakap tumbuh di batu hidup segan mati tak mau.
“Diumpamakan kepada
yang susah penghidupannya, mungkin disebabkan oleh penyakit yang dideritanya,
badan sudah kurus, harta sudah habis, tetapi ia tak mati-mati.”
d.
Pantun
Ø
Contoh:
Tah kurung tah labang
Tah surung tah lahang
Artinya: Entah jangkrik tanah
Entah jangkrik ilalang
Entah jadi entah tidak
Tah surung tah lahang
Artinya: Entah jangkrik tanah
Entah jangkrik ilalang
Entah jadi entah tidak
Ø
Contoh:
Sere-sere sala gundi
Siarah lebe arah pudi
Artinya: Sere-sere sala gundi
Yang di depan menjadi ke belakang.
Siarah lebe arah pudi
Artinya: Sere-sere sala gundi
Yang di depan menjadi ke belakang.
e.
Teka-teki
(kuning-kuningen)
Contoh:
Ø
Tulihken
reh dohna. Kai?
Artinya: Semakin dilihat kebelakang semakin jauh, apakah itu?
Jawabnya: cuping ‘ Telinga’
Artinya: Semakin dilihat kebelakang semakin jauh, apakah itu?
Jawabnya: cuping ‘ Telinga’
Ø
Nguda-ngudana
erbaju ratah
Tua-tuana erbaju gara. Kai?
Artinya: Pada waktu muda berbaju hitam
Pada waktu tuanya berbaju merah. Apakah itu?
Jawabnya: Lacina ‘cabai’
Tua-tuana erbaju gara. Kai?
Artinya: Pada waktu muda berbaju hitam
Pada waktu tuanya berbaju merah. Apakah itu?
Jawabnya: Lacina ‘cabai’
vTabas atau ‘mantra’ umumnya hanya dukun yang mengetahuinya.
Konon kabarnya kalau mantra itu sudah diketahui oleh orang banyak maka
keampuhannya akan hilang. Tabas (mantra) dilantunkan kepada roh-roh untuk
upacara penyembuhan Batak Karo.
Contoh:
Kun payakun, Kun kata Allah paya kun kata Muhammad, hukum kata Ali. Nuri pa
Tujum kabul aku perkasih, durma si Alam keturunan Nabi Ullah, nasa ula aku
terukum si dua mata sah mmat si dua mata. Mmat, mmat, mmat, mmat, mmat, mmat, mmat.
Artinya:
Tunduk, supaya tunduk, tunduk kata Allah supaya tunduk kata Muhammad. Memnohon
pak Tujum supaya dikabulkan memakai Pekasih, pekasih si alam. Keturunan Nabi
Allah,agar aku tidak di hukum si mata dua, Diam, diam, diam, diam, diam, diam, diam.
2. Bentuk
Prosa Liris
v
Bilang-bilang, yang berupa dendang duka, biasanya didendangkan dengan ratapan oleh
orang-orang yang pernah mengalami duka nestapa, seperti ratapan terhadap ibu
yang telah meninggal dunia, meratapi kekasih idaman hati yang telah direbut
orang lain atau pergi mengembara kerantau orang.
Ø Contoh:
Entah nidarami kin pe jelma ibabo taneh mekapal enda ni
taruh langit meganjang enda entah di langir nge bagi ajangku enda sera suina
nggeluh. Di turina ateku mesui kidah bagi ranting taman ku para nge kidah
rusur. Emaka lanai bo kueteh nurikenca de suntuk nari nge kuidak kerina te
mesui. Man ukurenku, onande beru Tariganku. I je makana entah nidarami kal pe
jelma perliah si la lit nge bagi turina ajang mama nak Karo-karo mergana endah
sera suine. Apai nge dah kam la bage ningku, onande bibingku karina. Enggo
kuidah ajangku endah bagi sumpamana jelang kedataren kutera kin nge turinna
jelang kedataren aji nindu gia min. o turang beru Sembiringku. Di turinna
jalang kedataran sekali kelajangen pe labo lit singembarisa amina sekali penggel
pe. Labo kenan tambaren sekali kedabuhen gelap auri pe la lit sipekarangsa
amina sekali bene pe la lit sidaram-daram, o turang. E kal me turina ajang anak
karo-karo mergana enda, o enda beru Sembiring. E makana nidarami kin pe jelma
perliah si la lit nge bagi ajangku enda sera suina nggeluh. Ngkai maka la bage
ningku, enggo kalajangku enda bagi sarintantang ndabuh ku namo, anima ndabuh pe
sea tama buena, amina la ndabuh pe sea tama urakna, o me taktak cibal geluahku
ras adumku o nandengku kerina. Emakana labo lit gunan turiken ningku.
3. Bentuk
Prosa
v
Turin-turian atau ‘cerita’ yang berbentuk prosa, khususnya mite (dongeng) dan legenda
yang disampaikan teutama sebagai tradisi lisan. Turi-turian ini tidak hanya
memuat legenda masa lalu, tetapi juga uraian yentang kosmogoni dan kosmologi.
Karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini dapat di jelaskan memalaui
kebijaksanaan yang dipertahankan dalam turi-turian, pengetahuan ini merupakan prasyarat
bagi para dukun magis Batak Karo, meskipun tidak dibatasi pada spesialis ini. Pagelaran
turi-turian berlangsung beberapa hari (siang dan malam), dirayakan seperti
festival kecil. Sang ahli pidato diberi kopi, rokok, dan siri, penonton
setengah mendengarkan sambil mengobrol, bergaul dan jajan. Tindakan menggelar
pertunjukannya dianggap lebih penting dari pada isi ceritanya sendiri, yang
memang sudah dikenal kebanyakan pendengar. Namun, karena urbanisasi dan
perubahan sosial lain, keakraban umum dengan cerita-cerita ini menghilang
dengan teratur. Beberapa judul ceritanya,
antara lain: Beru
Patimar, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, dan
sebagainya.
c. Sastra
Tulis (Aksara Karo)
Tulisen (aksara) Karo,
adalah salah satu aksara kuno yang ada di nusantara. Yang merupakan
kumpulan dari tanda-tanda (karakter/simbol-simbol) untuk menyatakan sesuatu,
yang pemakaiannya dimengerti dan disepakati, yakni oleh masyarakat penggunanya,
yaitu: masyarakat Karo itu sendiri. Tulisen Karo merupakan milik dari
masyarakat (etnis) Karo atau dengan kata lain, tulisen yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat (etnis) Karo serta tersebar luas,
dipergunakan dan diajarkan (awalnya dengan bahasa pengantar, cakap Karo)
di ruang lingkup Karo yang dulunya meliputi pesisir timur di Sumatera
(Oostkust van Sumatera) bagian utara dan dataran tinggi Karo yang
terbentang luas diatas pegunungan Bukit Barisan.
Pemakaian
Tulisen (aksara) Karo
Indung Surat (Huruf Induk)
Contoh:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar