Sastra
Bali merupakan salah satu khazanah kesusastraan Nusantara. Seperti kesusastraan
umumnya, Kesusastraan bali meliputi teks sastra kuna yang dikarang di Jawa,
didasarkan pada cerita kepahlawanan India, Ramayana dan Mahabharata. Syair dan
penulisan prosa tentang pokok-pokok yang berhubungan tentang agama dan sejarah
setempat yang diciptakan di Jawa antara abad ke-10 dan ke-16 dialihkan ke Bali.
Karya-karya itu masih digunakan dan disalin, sedangkan di Jawa telah menghilang
atau telah menerima makna islam baru.
Mulai
abad ke-16, orang bali menciptakan sastra mereka sendiri yang didasarkan pada
cerita-cerita klasik Jawa kuna karena bahasa yang digunakan ini adalah bahasa
Jawa Kuna, namun dengan perbedaan ini dibuatlah di Bali. Penggunaan bahasa Bali
dengan kesusastraan baru berkembang relative belakangan, yaitu pada abad ke-18
yang digunakan untuk cerita rakyat, terjemahan karya klasik dan syair yang
dibuat di Bali dan sejak kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945 bahasa
Nasional, bahasa Indonesia, digunakan secara luas untuk novel, cerita pendek,
puisi dan juga untuk komunikasi.
Keseluruhan
cara hidup masyarakat Bali, yang didasarkan atas agama Hindu, memiliki sejumlah
aturan, norma yang disepakati bersama sekaligus berfungsi untuk mengarahkan
para anggotanya dalam bertindak kearah positif. Sebagai gejala kebudayaan,
kearifan lokal dan pengetahuan lokal terbentuk secara evolusionis, selama
bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, baik secara disengaja maupun tidak, bahkan
mungkin secara sistem coba dan gagal (trial and error). Pada saat tertentu
salah satu gejala hidup dengan subur, pada saat yang lain jarang digunakan,
bahkan mungkin dilupakan. Oleh Karena itu, manefestasinya dalam masyarakat,
baik secara tersembunyi maupun eksplisit tergantung dari kesadaran masyarakat
dalam menggunakannya.
Karma
phala mengajarkan bagi masyarakat Bali untuk tidak berbuat jahat sebab
kejahatan akan membuahkan kejahatan. Sebaliknya untuk mempertahankan stabilitas
secara keseluruhan maka masing-masing individu diharapkan untuk mengasihi orang
lain seperti dirinya sendiri, menganggap penduduk pendatang sebagai tamu,
sekaligus merendahkan diri dihadapan orang lain, dan sebagainya.
Klasifikasi Sastra Bali
Untuk lebih memahami tentang jenis-jenis sastra Bali, maka
dengan ini kami menguraikan sastra Bali dari 4 (empat) tinjauan, yaitu sastra
Bali: (1) berdasarkan kondisi empiris dan pragmatis, (2) berdasarkan cara,
teknik/tradisi penyajian, (3) berdasarkan struktur penulisan, dan (4) berdasarkan
struktur, corak dan waktu pertumbuhkembangannya.untuk lebih jelasnya dapat
dipaparkan sebagai berikut.
11. Berdasarkan Kondisi Empiris dan Pragmatis
Berdasarkan
kondisi empiris dan pragmatisnya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.
a
a. Secara Struktural
Secara
struktural sastra Bali merupakan himpunan dari karya-karya sastra yang
berbahasa Bali, baik bahasa Bali Tengahan maupun bahasa Bali Baru. Tinjauan ini
didasarkan atas konstruksi yang membentuk suatu bangun karya sastra Bali.
Bahasa merupakan aspek mendasar dalam mengkonstruksi suatu karya sastra dan
selanjutnya dapat memberikan ciri khas terhadap karya sastra tersebut yang
dapat membedakannya dengan karya sastra lain. Begitu juga halnya dengan bahasa
Bali.
Sebagai
aspek mendasar dalam mengkonstruksi karya-karya sastra Bali, bahasa Bali dapat
menjadi suatu ciri khas bagi karya-karya sastra lainnya. Adapun contoh dari
karya-karya sastra Bali yang termasuk dalam kategori ini adalah
gegendingan/dolanan, pupuh (geguritan), pralambang (pribahasa), babad, satua,
cerpen, novel, roman, drama dan puisi-puisi Bali modern.
b b. Secara Fungsional
Secara
fungisonal, di samping merupakan karya-karya sastra yang berbahasa Bali, sastra
Bali juga meliputi karya-karya sastra (yang berbahasa Jawa Kuna (Kawi).
Tinjauan ini didasarkan atas penggunaan karya-karya sastra Jawa Kuna dalam
aspek-aspek kehidupan masyarakat Bali, terutama pada aspek relegi ataupun
keagamaan. Sastra Jawa Kuna memiliki kedudukan yang signifikan dalam aktivitas
relegi atau keagamaan (Hindu) pada masyarakat Bali. Bahkan, karya-karya sastra
Jawa Kuna tersebut telah dianggap sebagai “milik” masyarakat Bali karena adanya
kedekatan maupun keakraban terhadap karya sastra tersebut.
Adapun
contoh karya-karya sastra Jawa Kuna, sebagai karya sastra Bali secara
fungsional tersebut adalah kidung, wirama, palawakia, kanda-kanda dan
parwa-parwa. 2. Berdasarkan Cara, Teknik, atau Tradisi Penyajian
Klasifikasi
sastra Bali berdasarkan cara, teknik, atau tradisi penyajiannya dapat dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu: sastra lisan dan sastra tulis.
a. Sastra Lisan (Sastra Gantian, Sastra Tutur)
Menurut Wayan Budha Gautama, sastra lisan juga disebut
kesusastran pretakjana (2007: 31). Sastra Bali dalam bentuk lisan merupakan
formulasi dari sastra Bali sebagai teks-teks yang disampaikan secara oralty,
yaitu dari mulut ke mulut antara penutur dan pendengar. Proses dalam
penyampaian tersebut berlangsung turun-temurun dari generasi ke generasi dalam
berbagai versi maupun variasi.
Dalam perkembangannya, sastra (Bali) lisan tersebut telah
banyak yang ditulis. Di samping itu, karya-karya tersebut juga
ditransformasikan ke dalam bentuk karya sastra tulis, seperti ke dalam
geguritan dan peparikan. Sastra Bali dalam formulasi ini juga dapat dikaji
melalui perspektif folklor, yaitu suatu ilmu tentang budaya, yang cenderung
sebagai budaya lisan, yang telah mengakar pada suatu masyarakat tertentu.
Folklor
yaitu kelisanan itu sendiri, sebagai orality dipertentangkan dengan
keberaksaraan, literacy.
Secara
definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup
secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk
sastra yang dikemukakan secara lisan. Jadi, tradisi lisan membicarakan masalah
tradisinya, sedangkan sastra lisan masalah sastranya.
Ciri
khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut-mulut. Oleh
Karena itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan hidup subur di wilayah-wilayah
yang tradisi tulisnya belum maju. Ciri lain diantaranya :
a) Pada
umumnya hidup dalam masyarakat tradisional,
b) Dianggap
sebagai milik masyarakat bersama,
c) Oleh
karena itu seolah-olah tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas untuk
menyalin , meresepsinya,
d) Oleh
karena itu pula pada umumnya terdiri atas beberapa versi,
e) Tidak
ada batas yang jelas antara fakta dan fiksi,
f) Sebagai
karya sastra ciri lain yang juga penting adalah estetis, puitis, dan diucapkan
secara berulang-ulang.
Adapun yang termasuk ke dalam sastra lisan ini adalah
tembang ( puisi ) berupa gegendingan/dolanan
dan gancaran (prosa) berupa satua-satua Bali.
Contoh sastra lisan dalam bentuk tembang ( puisi ), yaitu gegendingan atau
nyanyian anak-anak (made cenik, goak maling taluh,dan lain-lain).
Contoh
lisan dalam bentuk gancaran ( prosa ), diantaranya Satua Pan
Balang Tamak, Satua I Siap Selem, Satua I Bawang Teken I Kesuna, Satua Men
Cubling, Satua Pan Angklung Gadang, dan lain-lain.
b b.
Sastra Tulis (Sesuratan)
Gambar Lontar Gambar
Aksara Bali
Sastra
tulis (sesuratan) juga dikenal dengan nama “kesusastran sujana” oleh Wayan
Budha Gautama (2007: 32). Satra Bali dalam bentuk tulis merupakan formulasi
dari sastra Bali sebagai teks-teks yang tertuang dalam naskah-naskah tulisan
tangan (manuskrips) maupun cetakan, baik berupa lontar, tembaga, maupun kertas.
Sastra tulis ini merupakan perkembangan dari sastra lisan sebelumnya ketika
masyarakat Bali telah mengenal aksara (huruf). Sastra lisan lebih mementingkan
makna yang terkandung di dalamnya daripada bentuk yang tersaji, sedangkan
sastra tulis, adanya bentuk yang tersaji secara tertulis tersebut merupakan
suatu rangkaian tanda yang dapat menjadi jembatan untuk menelusuri jejak-jejak
makna yang terkandung di dalamnya.
Tradisi
lisan dan sastra lisan tidak dapat dipisahkan dengan tradisi dan sastra tulis.
Dalam masyarakat kontemporer keduanya hidup secara berdampingan, saling
meliputi, saling menentukan, keberadaannya masing-masing. Tradisi dan sastra
lisan, dengan tujuan mendokumentasikannya kemudian ditranskripsikan dengan
menggunakan bentuk tulisan tertentu. Dengan tujuan-tujuan tertentu pula tradisi
dan sastra tulis dilisankan kembali, seperti pembacaan puisi dan cerpen,
termasuk genre yang lain.
Adapun yang termasuk dalam sastra tulis yaitu:
(1) Terikat, yaitu tembang ( puisi ); sekar rare
(gegendingan/dolanan), sekar alit (pupuh), sekar madya (kawitan/kidung), dan
sekar agung (wirama) serta peparikan.
Salah
satu cara yang cukup unik untuk menghormati tulisan dilakukan dalam masyarakat
Bali, yaitu melalui hari raya yang disebut Saraswati. Istilah Saraswati itu
sendiri diambil melalui nama Dewa (i) Ilmu Pengetahuan, yaitu Dewa (i)
Saraswati yang umumnya jatuh pada hari sabtu yang berulangsetiap 210 hari. Pada
hari raya tersebut, untuk menghormati tulisan pada umumnya umat Hindu tidak
melakukan aktivitas membaca dan menulis, tetapi diisi dengan berbagai upacara
ritual dengan tujuan agar hari-hari selanjutnya, berbagai bentuk tulisan dengan
berbagai manifestasinya yang sudah berada dalam pikiran dan perasaan dapat
diberikan makna secara lebih baik. Bahkan, sebagian masyarakat Bali masih
percaya bahwa menginjak, melangkahi, dan memperlakukan aksara Bali secara tidak
wajar merupakan semacam tabu. Lontar adalah salah satu jenis naskah yang
dihormati di Bali, bahkan dikeramatkan.
3 3.
Berdasarkan Bentuk/Struktur Penulisan
Berdasarkan
bentuk/struktur penulisannya, sastra Bali dapat diklasifikasikan menjadi 3(tiga)
yaitu: puisi (tembang), prosa (gancaran), dan prosa
liris (palawakia).
a a.
Puisi (Tembang)
Sastra
Bali dalam bentuk puisi (paletan tembang) ini
merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai suatu karangan dengan pola yang
terikat. Seperti karakteristik puisi pada umumnya, kesusastraan Bali dalam hal
ini tampil dengan suatu pola yang terstruktur oleh konvensi-konvensi tertentu
yang mengikat dan memberikan karakter yang tertentu pula.
Contoh
sastra Bali dalam bentuk puisi (tembang), yaitu
gegendingan/dolanan, pupuh, kidung, wirama, babad dalam bentuk
geguritan/peparikan, dan puisi- puisi Bali Modern.
Demikian
juga antara puisi dan bentuk-bentuk terikat yang lain. Termasuk peristiwa,
seperti: ngaben (pembakaran mayat dalam agama Hindu Bali)
b b.
Prosa (Gancaran)
Kebanyakan
karya prosa yang lebih tua dianggap informative dan menjadi bahan kajian atau
rujukan, termasuk didalamnya buku pegangan tentang agama, ungkapan-ungkapan
suci, tata cara keagamaan, silsilah, kitab undang-undang, peraturan desa,
perbintangan, penanggalan, ilmu gaib, adu ayam, serta memelihara kuda dan
merpati. Semua itu dicatat dalam naskah daun al dan maksud naskah-naskah itu
dimaksudkan untuk dibaca oleh setiap orang bali.
Bahasa yang digunakan berhubungan erat dengan
tingkat kepentingan karyanya. Teks tentang agama dan tata cara keagamaan yang
lebih tinggi ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang sukar dengan kata-kata bahasa
Sansekerta yang hanya dikenal oleh kelompok kecil orang Bali. Teks lain yang
dianggap lebih rendah karena ditulis dalam bahasa Jawa Kuna yang kurang rumit dan
sering dicampur dengan bahasa Bali.
Digunakan
Pada pestival di pura serta upacara kematian yang rumit, teks prosa mungkin
dibacakan didepan khalayak. Pada perayaan tahunan di pura suku dan keluar prosa
silsilah mungkin dibawakan dari naskah lontar oleh speialis bagi keluarga itu
sambil duduk tinggi diatas anjungan, pedanda brahmana, membawakan dari bagian
bab tersuci dalam Mahabharata, Adiparwa atau dari teks Jawa Kuna tentang
pembersihan jiwa Putupasaji bertujuan harus menggunakan naskah lontar. Jika
membaca dengan naskah kertas dianggap melanggar hal-hal keramat yang ada di
Bali.
c c.
Prosa Liris (Palawakia)
Sastra
Bali dalam bentuk prosa liris prosa liris (palawakia) merupakan karangan bebas,
yang tidak terikat dengan aturan seperti prosodi dan metrum seperti pada puisi
(tembang). Palawakia merupakan karangan bebas yang dibaca dengan cara
diiramakan/dilagukan. Umumnya palawakia menggunakan bahasa Jawa Kuna/Tengahan.
Contoh
sastra Bali dalam bentuk palawakia, yaitu Astadasa Parwa (dalam Kakawin
Mahabharata) seperti Adi Parwa sampai dengan Swarga Rohana Parwa, Sapta Kanda
(dalam Ramayana) seperti Bala Kanda sampai dengan Uttara Kanda, dan lain
sebagainya.
4
4. Berdasarkan Struktur, Corak dan Waktu Pertumbuhkembangannya
Berdasarkan
struktur corak dan waktu pertumbuhkembangannya, sastra Bali dapat
diklasifikasikan menjadi 2(dua), yaitu: (1) sastra Bali purwa (klasik/lama/kuno),
dan (2) sastra Bali anyar (baru/modern).
a a.
Sastra Bali Purwa
Sastra
Bali purwa (klasik/lama/kuno) merupakan formulasi dari sastra Bali sebagai
sastra yang bercorak dan bersifat tradisi atau warisan secara turun-temurun
dari masa lampau. Sastra Bali dalam hal ini juga disebut sebagai sastra Bali
tradisional sebagai himpunan karya-karya sastra yang dibangun atas struktur
tradisional, baik dalam konvensi, tema, tokoh, maupun motif cerita yang
ditampilkan. Pada karya-karya sastra tersebut dapat dijumpai adanya nilai-nilai
luhur yang telah hidup dan dianut oleh masyarakat Bali sejak masa lampau
sabagai nilai-nilai yang adiluhung. Contoh sastra Bali purwa, yaitu tembang,
gancaran, dan palawakia.
b b.
Sastra Bali Anyar
Sastra
Bali anyar (baru/modern) merupakan formulasi dari sastra sebagai suatu pola
atau tipologi sastra yang muncul pada masa kolonial dengan adanya pengaruh dari
sastra Indonesia maupun Barat. Pada masa kolonial, sastra Barat, seperti novel,
cerpen (short story), dan puisi-puisi (poetry) Barat, mulai
masuk ke Indonesia. Pola-pola sastra tersebut diterima dalam sastra Indonesia
melalui suatu adopsi dan adaptasi, sehingga lahirlah sastra Indonesia Modern.
Perkembangan
sastra Indonesia yang demikian turut mempengaruhi perkembangan sastra Bali,
sehingga pola-pola sastra tersebut juga diinternalisasi ke dalam sastra Bali.
Hal ini ditunjukkan oleh lahirnya novel-novel, cerpen-cerpen (satua bawak),
maupun puisi-puisi Bali modern yang
tentunya menggunakan bahasa Bali. Pola sastra tersebut merupakan contoh-contoh
dari sastra Bali anyar tersebut. Contoh sastra Bali anyar, yaitu puisi dan prosa.
Mitos masyarakat Bali
Mitos
merupakan salah satu istilah yang sangat sulit di definisikan sebab istilah
tersebut digunakan dalam berbagai bidang ilmu, dijelaskan dengan menggunakan
berbagai konsep yang berbeda-beda.
Mitos
merupakan model untuk bertindak yang selanjutnya berfungsi untuk memberikan
makna dan nilai bagi kehidupan. Dengan kalimat lain, mitos selalu dikaitkan
dengan realitas, secara kosmogonis selalu ingin membuktikannya. Mitos tentang
karmaphala bagi masyarakat Bali, sebab akibat yang logis bagi kehidupan manusia
secara universal menyebabkan perubahan tingkah laku. Di satu pihak, bagi mereka
yang ingin memperoleh kebahagiaan, masuk ke dalam kerajaan surge diakhir
hayatnya, maka cenderung berbuat baik. Di pihak lain, banyak, jauh lebih banyak
di antara kita yang bersifat mengabaikan, bahkan tidak mempercayainya sama
sekali.
Istilah
lain yang dekat dengan mitos adalah dogma, pengajaran dalam agama yang harus
diterima sebagai kebenaran, bahkan dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi
oleh para pemeluknya, seperti Tritunggal (Brahma, Wisnu, dan Siwa) dalam agama
Hindu Bali, kematian dan kebangkitan kembali Yesus Kristus dalam agama Kristen.
Bersatu
kita teguh, saling membantu dalam pengertian lebih luas, misalnya, disebut juga
sagilik saguluk sabayantaka (Bali). Ketidakmampuan pengobatan modern justru
dibantu dengan pengobatan tradisional seperti dilakukan oleh para balian (Bali)
Mengakhiri masa tua di Bali bagi masyarakat Bali, cinta terhadap tanah air
dalam pengertian yang lebih umum adalah beberapa contoh kerinduan orang pada
tempat kelahiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar