A. Sejarah Sastra Jawa dan Sunda
Jawa dan Sunda adalah hasil karya sastra Sunda, baik yang
berhubungan dengan Sunda maupun tidak, namun ditulis menggunakan bahasa Jawa oleh orang
Sunda. Orang Sunda yang menghuni bagian barat pulau Jawa sudah secara dini mengenal aksara. Prasasti-prasasti dinasti Tarumanegara yang diketemukan, ditarikhkan berasal dari abad ke-5 Masehi. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskerta. Lama-kelamaan kemudian orang-orang Sunda pun menuliskan karya sastra
mereka menggunakan bahasa Sunda kuna.
Pengaruh-pengaruh budaya Jawa juga sudah terlihat dalam karya-karya sastra Sunda Kuna. Ditemukan ada beberapa kata-kata serapan dari bahasa Jawa (Kuna) dan beberapa karya sastra Jawa Kuna banyak pula yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sunda Kuna. Bahkan naskah tertua sastra Jawa Kuna berasal dari daerah Sunda di Jawa Barat. Misalkan naskah kakawin Arjunawiwaha yang tertua dan sekaligus naskah lontar (atau sebenarnya nipah) tertua pula berasal dari daerah sekitar Bandung.
Perkembangan
sastra Jawa dimulai sejak zaman kraton Mataram Hindu, Budha, Medang, Kahuripan,
Jenggala, Daha, Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Surakarta
dan Yogyakarta. Pada awal abad 20 sesungguhnya kesusastraan Jawa sudah mendapat
pengaruh dari metrum-metrum kesusastraan yang berasal dari Barat. Sastra
merupakan produk masyarakat Jawa yang sudah berusia sangat panjang. Kebudayaan
asli Jawa yang bersifat transendental lebih cenderung pada paham animisme dan
dinamisme. Perubahan besar pada kebudayaan Jawa terjadi setelah masuknya agama
Hindu-Budha yang berasal dari India. Kebudayaan India secara riil mempengaruhi
dan mewarnai kebudayaan Jawa, meliputi: sistem kepercayaan, kesenian,
kesusastraan, astronomi, mitologi, dan pengetahuan umum.
Kesusastraan
adalah bagian dari kebudayaan, maka dengan kebudayaan India datang pulalah
kesusastraan India di Nusantara. Pengertian kebudayaan itu sendiri memiliki kata dasar yaitu budaya berasal dari
bahasa sansekerta “buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
“budi” atau “akal”. Jadi Koenjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya
budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari
cipta, karsa dan rasa. Tahun pertama Masehi di India
berkembanglah kesusastraan yang terutama berpusat kepada kitab-kitab suci agama
Hindu sesudah perkembangan agama Budha, yaitu kitab-kitab purana (Wojowasito,
1967). Di samping Hinduisme ini berkembang pulalah agama Budha, baik Mahayana,
maupun Hinayana, dengan seluruh kesusastraannya.
Tidak
hanya kesusastraan yang berhubungan dengan agama saja yang berkembang, tetapi
di samping itu terdapat pula karangan-karangan yang terutama mementingkan
indahnya bahasa, halusnya rasa, bagusnya irama. Selama inilah timbul sajak yang
terkenal bagusnya bagi bangsa India, yaitu yang disebut Kawya. Kebiasaan pada
saat itu masih dapat dilihat hingga akhir abad 19 di keraton Sunan Solo.
Pujangga-keraton daerah istimewa kesunanan yang terakhir yaitu Ronggowarsito.
Nama ini sangat terkenal dalam lapangan kesusastraan di Solo.
Maka berhubung dengan apa yang telah diuraikan di atas sejarah
kesusastraan bahasa Kawi Jawa Kuno ini berkisar pada perurutan
kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut: kerajaan Sindok dan
pengganti-penggantinya. Sejak datangnya agama Islam perhatian kepada
kesusastraan kuno sangat berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Jadi dengan
lenyapnya kerajaan Majapahit dari Jawa Timur itu, lenyap pulalah kesusastraan
Kawi dari daerah itu.
Untunglah ada Bali yang
sejak bersatu dengan Majapahit tetap menjunjung tinggi pusaka nenek-moyangnya
dari zaman Majapahit hingga sekarang. Dari Balilah didapatkan sebagian besar
hasil kesusastraan zaman pengaruh India hingga berakhirnya
Kerajaan Majapahit, dan oleh karena naskah-naskah itulah maka dapat diketahui
sebagian besar perkembangan politik di Nusantara hingga lenyapnya Majapahit.
B. Sastra Jawa
Sastra Jawa adalah seluruh karya sastra yang
menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana ungkap. Definisi ini mencakup penggunaan
ragam dan tahapan bahasa, genre, bentuk, isi, dan mutu yang ada dalam
khasanah sastra Jawa. Secara garis besar penggunaan bahasanya, sastra Jawa
dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni sastra Jawa kuna, sastra Jawa tengahan dan
sastra Jawa baru. Adapun penjelasan tentang pembagian sastra Jawa dalam tiga kelompok
sebagai berikut.
1.
Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa kuna adalah sastra Jawa dengan menggunakan bahasa Jawa kuna
sebagai wahana penyampaian. Sastra Jawa
kuna merupakan tahap sastra ketika kebudayaan Jawa menampakkan pengaruh India
yang sangat kuat. Hampir semua unsur kebudayaan Jawa menampakkan adanya
pengaruh India yang sangat kuat: sistem religi, bahasa, kesenian, ilmu
pengetahuan, dan organisasi sosial; walaupun di sana ada akulturasi akibat
kuatnya local genius dalam kebudayaan Jawa. Macam-macam sasta pada zaman
Jawa kuna yaitu :
v Kakawin
Istilah kakawin berasal dari kata kawi
(Sansakerta: penyair/pujangga) dan konfiks Jawa ka-an sudah mencerminkan
hal itu. Kakawin merupakan adaptasi puisi India yang
terikat pada pola persajakan yang ketat. Kakawin dalam kesastraan Jawa dikenal
sebagai karya penyair yang mempunyai pengertian yang luar biasa. Sastra kakawin
biasanya dalam bentuk pupuh yaitu batasan lagu yang terikat oleh banyaknya suku
kata dalam satu bait, yang merupakan bagian pengantar seorang penyair dalam
memulai karangnya. Contohnya: kakawin Ramayana, kakawin Kresnayan, kakawin
Arjunawijaya.
v Negarakertagama
Nagakrtagama memiliki perbedaan isi dibanding dengan karya sastra sebelumnya, yakni
berupa laporan perjalanan raja Majapahit, Hayam Wuruk, dan lain-lain.
v Sastra Wayang
Sastra pewayangan merupakan sastra
yang ceritanya bersumber dari epos Mahabarata Ramayana. Sastra wayang
merupakan salah satu sastra Jawa dalam bentuk
lisan, karena dipentaskan dengan menggunakan wayang. Sastra Jawa yang lain dalam bentuk lisan adalah kentruk, yaitu
cerita yang diceritakan oleh para penglipur lara.
2.
Sastra Jawa
Tengahan
Sastra Jawa tengahan
merupakan sastra Jawa dengan bahasa Jawa pertengahan sebagai wahana
penyampaian, muncul pada akhir Majapahit dan berkembang pada periode sastra
Jawa-Bali.
v Kidung
Selain bentuk prosa,
sastra Jawa tengahan mengenal bentuk puisi yaitu kidung. Kata kidung benar-benar
asli Jawa. Tidak sebagaimana halnya kakawin yang baik prosodi maupun
isinya dibawa dari India, prosodi dan isi sastra kidung benar-benar
Jawa. Beberapa teks sastra Jawa tengahan misalnya Tantu Panggelaran,
Pararaton, Sri Tanjung, Sudamaia, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya, Kidung
Sunda, dan Kidung Sorandaka.
v Pararaton
Pararaton merupakan salah satu karya sastra Jawa tengahan yang dianggap memiliki
nilai kesejarahan, meskipun pengertian sejarah tidak sebagaimana berlaku
sekarang yang memiliki matra faktual. Susunan dan motif-motifnya mirip dengan babad dalam sastra Jawa baru. Babad dianggap sebagai sastra sejarah
yang salah satu fungsinya merupakan sarana legitimasi. Jika Pararaton dapat dipersamakan dengan babad, maka karya sastra ini merupakan
refleksi dari sistem orang Jawa menilai peristiwa dan kronik.
Dibawah
ini dapat dilihat terdapat gambar pararaton.
3.
Sastra Jawa Baru
Sastra
Jawa baru adalah sastra Jawa dengan bahasa Jawa baru sebagai sarana ungkap,
mucul sejajar dengan sastra Jawa tengahan dan berlangsung hingga sekarang.
Sastra Jawa baru dibagi menjadi dua bagian, yakni sastra Jawa tradisional dan
sastra Jawa gagrag anyar (modern).
v Sastra Tradisional
Sastra tradisional adalah sastra yang dibatasi oleh
aturan tertentu secara konvensional
dan berlaku turun-temurun. Karya sastra pada Jawa baru adalah macapat.
o
Macapat
Macapat merupakan bentuk puisi yang
berbahasa Jawa baru yang memperhitungkan jumlah baris untuk tiap bait, jumlah
suku kata tiap baris, dan vocal akhir baris, baik jumlah suku kata maupun vocal
akhir tergantung atas kedudukan baris bersangkutan pada pola metrum yang
digunakan.
v Sastra Gagrag Anyar
Sastra
Gagrag Anyar sebagai sesuatu yang baru,
sastra Jawa gagrag anyar pada mulanya sulit diterima masyarakat Jawa
yang terbiasa dengan sastra "adiluhung" berbentuk macapat. Kenyataan
ini diperburuk lagi oleh banyak sastrawan Jawa yang handal mengalihkan ekspresi
kesusastraannya dengan menggunakan bahasa Indonesia karena pertimbangan cakupan
pembaca dan permasalahana yang lebih luas.
o
Parikan : Puisi
Jawa Kontekstual
Berasal dari kata pari, yang mempunyai ragam krama
"pantun", sehingga kemungkinan parikan berasal dari pantun
Melayu. Parikan dapat dianggap sebagai puisi rakyat (Jawa) karena hidup
di tengah-tengah rakyat. Bahkan setiap orang Jawa dapat menciptakan dan
sekaligus mengucapkan wacana yang dibingkai dengan metrum parikan tanpa
harus berurusan dengan hak cipta seperti yang terjadi pada masyarakat modern. Wacana
berikut merupakan contoh parikan lamba (contoh 1) dan parikan rangkep (contoh 2).
(1) omah gendheng taksaponane
abot entheng
taklakonane
'rumah genteng
akan kusapu
berat (atau pun)
ringan akan kujalani'
(2) iki kayu kayune sepur
ilang sepure
kari endhase
iki ayu ayune
pupur
ilang pupure
kari kadhase
'ini kayu
kayu(-nya) keta api
Hilang kereta
api(-nya) tinggal lokomotif(-nya)
Ini cantik
cantik(-nya) bedak
Hilang
bedak(-nya) tinggal kurap(-nya)’
C. Sastra Sunda
Sastra
Sunda adalah karya kesusastraan dalam bahasa Sunda atau
dari daerah kebudayaan suku bangsa Sunda atau di
mana mereka memberikan pengaruh besar. Seni
sastra Sunda berkembang cukup pesat dari waktu ke waktu baik jenis karyanya
maupun sastrawannya. Karya sastra Sunda dapat dibagi ke dalam dua
kelompok antara lain adalah :
a.
Pantun
Pantun yaitu sastra lisan yang berbentuk prosa
lirik, pada umumnya menceritakan tokoh kerajaan Pajajaran yang melakukan
pengembaraan dalam mencapai cita-citanya. Contohnya cerita pantun Ciung
Wanara, Lutung Kasarung, Mundinglaya Di Kusumah. Kini cerita pantun sudah
banyak yang telah dibukukan.
b.
Wawacan
Karya sastra yang terikat, dibentuk dari pupuh,
ceritanya panjang, fiksi, dan menceritakan kejayaan seseorang, contoh : wawacan
Panji Wulung, Angling Darma, Babad Sumedang, wawacan Purnama Alam. Ada 17
pupuh yang terdapat dalam karya sastra Sunda, yaitu Asmarandana,
Kinanti, Sinom, Dangdanggula, Durma, Pangkur, Jurudemung, Gurisa, Magatru,
Maskumambang, Pucung, Mijil, Balakbak, Lambang, Ladrang, Gambuh, Wirangrong.
Masing-masing pupuh mempunyai sifat dan fungsi masing-masing dalam
menggambarkan suasana cerita. Membaca wawacan biasanya ditembangkan sesuai
lagu pupuh yang digunakan.
c.
Guguritan
Karya sastra terikat yang dibentuk dari pupuh,
ceritanya pendek, menceritakan keindahan alam, perasaan hati dan nasihat.
Membacakan guguritan ditembangkan sesuai lagu pupuhnya. Contoh guguritan : Dangdanggula
Laut Kidul, Asmarandana Lahir Batin, Wulang Krama , Wulang Guru dan
lain-lain.
d.
Pupujian
Karangan terikat atau puisi berisikan
pelajaran keagamaan, mengagungkan Allah, solawat kepada nabi dan do’a. Bentuk
pupujian biasanya terdiri dari beberapa bait, setiap baitnya 4 baris dan
berirama, cara membacanya dilantunkan/dilagukan, melantunkan pupujian biasanya
di mesjid/madrasah. Contoh pupujian yang berisikan pujian terhadap keagungan Allah:
He Dat anu Kuat
He dat anu leuwih kuat
anu gagah anu perkosa
mugia Gusti ngajaga
ti jalma nu dolim dosa
anu gagah anu perkosa
mugia Gusti ngajaga
ti jalma nu dolim dosa
He Alloh anu ngqamankeun
Ka abdi tina kasieun
Mugi Gusti nyalametkeun
Ka abdi tina kasieun
(Panyungsi sastra hal. 138)
Ka abdi tina kasieun
Mugi Gusti nyalametkeun
Ka abdi tina kasieun
(Panyungsi sastra hal. 138)
e.
Paparikan
Karya sastra yang terikat terdiri dari 4
baris, setiap baris terdiri dari 8 suku kata (engang, dalam bahasa
Sunda), 2 baris pertama merupakan sindiran/sampiran dan 2 baris
berikutnya merupakan isinya, paparikan biasanya dikawihkan.
Contoh paparikan :
Batur mah dibaju hideung
Kuring mah dikabaya bae
Batur mah dipikatineung
Kuring mah sangsara bae
Kuring mah dikabaya bae
Batur mah dipikatineung
Kuring mah sangsara bae
f.
Wawangsalan
Karya sastra yang terikat terdiri dari 2
baris, baris pertama sampiran dan baris kedua isi. Uniknya dari paparikan
ini adalah baris pertama dan kedua merupakan tebakan yang diulang
atau wangsal.
Contoh wawangsalan yang wangsalnya atau isi tebakannya
adalah hayam
Teu beunang dirangkong kolong
Teu beunang dipikahayang
g.
Sajak
Karya sastra yang terikat terdiri dari beberapa
bait, tiap bait jumlah baris dan jumlah suku kata tiap baris tidak tetap. Isi
dari sajak biasanya mengungkapkan keindahan alam, keagungan Alloh,
harapan, kebahagiaan dan kesedihan perasaan seseorang. Contoh sajak yang
mengungkapkan harapan dan keindahan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar