Asal Mula
Sastra Aceh ( Sastra Aceh Zaman Kerajaan )
Awal
keberadaan sastra di Aceh
bisa dilihat sekitar abad ke-13, Pada saat Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Sejak
Islam masuk ke Aceh pada abad pertama Hijriah, kesusastraan Aceh telah memegang
peranan penting dalam menyebarkan dakwah Islam di Nusantara. Hampir semua karya
sastra Aceh ketika itu digunakan untuk kepentingan dakwah Islam. Maka tidak
salah jika dikatakan kebudayaan (kesenian dan sastra) Aceh identik dengan
kebudayaan Islam. Pengaruh ulama di Aceh dulu lebih dominan dalam masyarakat,
bahkan para sastrawan Aceh dulu juga terdiri dari ulama-ulama yang berpengaruh.
Ada banyak
karya sastra berupa kitab-kitab, hikayat, dan sastra tutur. Karya tulisan
umumnya menggunakan tulisan Jawi, bahasa Melayu, dan Arab. Sedangkan sastra
lisan umumnya menggunakan bahasa Aceh karena lebih komunikatif saat
berkomunikasi langsung dengan pendengarnya.
Dulu, karya
sastra tulisan lebih sedikit dibandingkan dengan karya sastra tutur. Karya
sastra tutur ini lebih merakyat dan berkembang pesat. Hikayat yang tidak
ditulis tetapi dituturkan secara spontan. Penyebab lain mengapa sastra tulisan
lebih sedikit adalah karena orang Aceh lebih suka bertutur daripada menulis.
Juga pada masa itu, walaupun semua orang bisa membaca tulisan Arab atau Melayu
Jawi, hanya kalangan yang berpendidikan saja yang bisa menulis dalam huruf latin
di Aceh. Ini salah satu penghambat sedikitnya karya berbentuk tulisan di Aceh.
Dari bumi serambi Mekkah juga asal muasal
pembaharuan sastra Melayu Indonesia. Yang berpengaruh dan membawa perubahan
terhadap sastra Melayu Indonesia. Daerah Aceh memiliki aset kekayaan genre
(cabang ) sastra klasik (klasik literatur). Ciri-ciri umum karya sastra klasik
adalah sama dengan ciri sastra lama yaitu: a) bersifat anonim (tidak memiliki
nama pengarang), b) bercorak ragam lisan diceritakan dan dibicarakan dari mulut
ke mulut, c) bersifat turun temurun antar generasi ke generasi, d) jika berupa
puisi unsur ritma dan sajak lebih dominan.
Adapun mengenai Tradisi Tulisan Aceh
adalah sebagai berikut:
TRADISI
TULIS ACEH
Meskipun
tidak mungkin menetapkan tanggal mulanya tradisi tulis Aceh, naskah-naskah yang
ada menunjukkan suatu tradisi yang khususnya kaya dengan syair. Tema-temanya
berasal dari sejarah, dari islam, dan dari cerita rakyat. Syair epik Aceh
mencakup beberapa dari karya sastra terbaik Indonesia.
Bukti
tertua naskah Aceh
Tampaknya
tak ada bekas tradisi tulis Aceh pra islam yang masih ada, meskipun keberadaan
aksara india dibagian-bagian lain dari Sumatera, dan pada bahasa Chamic dari Vietnam
yang serumpun menyiratkan bahwa bahasa Aceh mungkin telah mempunyai bentuk
tertulis sebelum kedatangan akasara Arab. Tanggal tertua yang membuktikan adanya
tradisi naskah Aceh adalah tahu 1069 H ( 1658-1659 M) tulisan-tulisan pada
naskah lain berasal dari paruh kedua abad ke 17 dan awal abad ke 18. Semua
naskah awal ini merupakan tulisan keagamaan, ditulis dengan huruf Arab
tradisional.
Menulis
dan membaca bahasa Aceh
Kemampuan
membaca dan menulis bahasa Aceh dalam huruf tradisional hanya di dapatkan
secara tak langsung. Tahap pertama dimulai waktu kecil,ketika anak-anak belajar
mengaji Qur’an. Tahap berikutnya
dalam pembelajaran ilmu baca tulis secara tradisional dicapai oleh sebagian
kecil saja, melibatkan pembelajaran bahasa
Jawoe ( Jawi), yakni bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab. Ini bahasa
yang lazim di pakai untuk prosa tertulis dalam masyarakat Aceh tradisional.
Buku pelajaran keagamaan, serta surat dokumen lain seperti paspor,
undang-undang, kontrak, dan stempel penguasa semua dibuat dalam bahasa jawi,
kini ditulis dalam turunan bahasa Melayu, bahasa Indonesia.
Melalui
kemampuan bahasa jawi, orang Aceh menguasai keterampilan membacakan bahasa Aceh
dari naskah tertulis. Meskipun sistem penulisan Aceh tradisional sangat tidak
fonetis, Ia cocok jadi penutur asli bahasa Aceh yang terlatih dalam huruf Jawi
serta dasar-dasar bahasa arab. Kecenderungannya mengeja banyak kata dalam
bahasa melayu se asal yang mudah dikenali atau dalam bentuk asli bahasa Arab,
meskipun pengucapan cara Acehnya cukup berbeda.
Rima
dan irama syair Aceh juga mempermudah pembacaan. Dengan kekecualian yang jarang
terjadi, bahasa tulisan Aceh ada dalam benttuk syair, dengan matra puitis sanjak. Ini bersajak dalam dua cara,
dengan keduanya bersajak di khir dan sajak-sisispan pada baris terpisah. Pola
persajakan akhir mungkin dipinjam dari bahasa Melayu melalui hubungan yang
berabad-abad dengan bahasa itu. Sajak sisipan mengikuti pola yang umum di Asia
Tenggara, dan dirunut ke asal-usul bahasa Aceh di tanah daratan. Pola dasar
sajak sisipan adalah satu suku kata di akhir sepenggal syair bersajak dengan
suku kata di tengah bagian berikutnya dari syair yang sama panjang penggalannya.
Pada
paruh kedua abad ke-20, penggunaan huruf-huruf Romawi bagi bahasa Aceh telah
cukup tersebar luas. Meskipun ada usaha-usaha dari para sarjana terkemuka di
Banda Aceh, mereka tak berhasil memaksakan ejaan Romawi baku yng disarankan.
Ada cukup banyak ragam perseorangan pada kaidah-kaidah ejaan, dan perbedaan
dialek cenderung mempengaruhi bentuk tulisan dalam sistem-sistem ejaan Romawi.
Hikayat
Kebanyakan
naskah tulis berbahasa Aceh digambarkan sebagai hikayat. Istilah ini juga
digunakan dalam bahasa Melayu untuk karya panjang bergaya epik. Penggunaan
istilah itu dalam bahasa Aceh dan bahasa Melayu mirip, yaitu hikayat untuk
pertunjukan lisan yang panjang dengan menggunakan melodi, umumnya tertulis.
Bedanya adalah hikayat Melayu berbentuk prosa. Hikayat Aceh dikelompokkan
berdasarkan sifat pokok bahasanya.
1. Teks
penghinaan
Jenis
ini membentuk kelompok yang relatif kecil dan langka. Mereka dikhususkan untuk
penghinaan dan cukup singkat.
2. Syair
Cerita Rakyat
Jenis
ini membentuk kelompok lain naskah langkah, terdiri atas bahan yang biasanya
disampaikan secara lisan dalam bentuk dongeng-dongeng rakyat, namun yang diubah
menjadi syair oleh pengarang.
3. Dongeng
Kepahlawanan Rakyat
Menceritakan
tentang tokoh suci atau berkekuatan gaib dari masa lalu di Aceh. Yang terkenal
adalah Hikayat Malem Diwa. Jenis
hikayat ini tergantung bahan dongeng pra-Islam, banyak yang yang sama dengan
daerah lain di Sumatera.
4. Epik
Perang
Melukiskan
pertempuran dan gerakan sejarah. Beberapa cerita kepahlawanan menguraikan
konflik masa pendudukan Belanda, yang lain menceritakan gerakan pertahanan
melawan Jepang, perang saudara, Prang Cumbok, yang terjadi setelah Perang Dunia
II.
5. Epik
yang Lebih Tua
Berhubungan
dengan masa lalu Aceh yang lebih awal, membentuk sekelompok kecil cerita
kepahlawanan namun sangat penting artinya. Dua contoh besar, yakni Hikayat Meuketa Alam, melukiskan
peristiwa semasa Iskandar Muda, dan Hikayat
Pocut Muhammad
6. Cerita
Roman
Satu
kelompok yang sangat besar dan beragam, mengandung unsur mitos yang kuat.
Beberapa diantaranya belatar Aceh serta mempunyai kandungan sejarah. Jenis ini
boleh disebut roman sejarah, termasuk Hikayat
Nun Parisi, yang berlatar kerajaan bandar tua Pase. Namun, kebanyakan cerit roman berlatar mitos atau waktu dan
tempat, serta tidak memiliki kandungan sejarah sama sekali. Banyak nama tempat
tidak benar-benar ada. Lainnya berlatar seperti Abyssinia, India, Yaman,
Hindustan, Persia, Siam, Syria, Srilanka, kerajaan Jens dan Cina. Banyak bahan ceritanya dipinjam dari kesustraan
lain, termasuk sejumlah besar dari Persia, melalui bahasa Melayu.
7. Cerita
Kepahlawanan Suci
Sebuah
kelompok yang besar dan tidak disukai, khususnya melibatkan wali-wali Islam dan
tokoh-tokoh suci dari masa lalu Islam yang lebih tua (termasuk masa pra-Islam).
Cerita-ceritanya tidak ditempatkan di Aceh, misalnya, Hikayat Nabi Usah, cerita
tentang Jusuf, dan Hikayat Hasan Husen,
berkenaan dengan cerita mati syahidnya cucu-cucu Nabi, Hasan dan Husen.
8. Dongeng
Pribadi
Jenis
ini membentuk kelompok yang kecil namun menarik, dan kurang terwakili dalam
koleksi umum disebabkan oleh sifatnya yang agak pribadi. Cerita yang
diterbitkan tentang perjalanan keliling dunia penyair terkenal Abdullah Arif
dalam rangkaian Seumangat Aceh-nya
termasuk dalam kelompok ini.
9. Dongeng
Peringatan dan Pengobaran Semangat
Mempunyai
kandungan keagamaan yang kuat. Termasuk di dalamnya, misalnya, Teungku Tiro’s Lessons on the Holy War
(Ajaran Teungku Tiro tentang Perang Suci) serta Hikayat Prang Sabi, yang
mendorong pendengar untuk ambil bagian dalam perang Suci. Dongeng-dongeng
peringatan singkat telah memberi bahan bagi penerbitan syair selama 30 tahunan
terakhir ini.
A.
Jenis
Sastra Aceh
Menurut Razali Cut Lani dalam karyanya berjudul
Kesusastraan Aceh, dikenal beberapa jenis sastra klasik yaitu: Narit Maja (peribahasa), Neurajah (mantra), Hiem (teka-teki), dan Panton
(pantun). Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dan purba
dalam sejarah perkembangan sastra Aceh.
1.Narit Maja (Peribahasa)
Tradisi
masyarakat Aceh Narit Maja berfungsi
sebagai pengendalian pranata sosial (control sosial) dan sebagai sarana
penyampaian pesan moral.
Narit Maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti
terdapat dalam narit maja berikut: Hana
patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila. Terjemahan
bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak tentu
gila. Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan. Untuk lebih
jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam narit maja, ada beberapa
contoh berikut:
Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang berdagang, seperti berikut:
Tulak tong
tinggai tem. Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng. Peribahasa
ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang–jual beli–setelah
diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya
mencukupi modal saja.
Misalnya
terdapat dalam Narit Maja dalam
bidang kriminalitas, seperti berikut:
gop pajoh
boh panah/ tanyo yang meugeutah. Terjemahan bebasnya: orang yang
makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang
mendapat efek dari kriminalitas tersebut.
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah
merupakan jenis sastra tertua setelah Narit
Maja. Jika ada orang yang bertanya siapakah pemilik puisi jenis mantra ini?
Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi penyair genre mantra, karena pada
mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk menjinakkan harimau, gajah,
tawon, dan lain-lain.
3. Hiem (Teka – Teki)
Masyarakat Aceh
dalam keseharian sering kumpul bersama sanak keluarga dan kerabat untuk berteka
– teki sejenak. Teka – teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga
menjadi arena asah otak, karena dalam teka – teki juga mengandung unsur
pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan.
4.Panton (Pantun)
Bagian
terakhir dari sastra klassik Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri
atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat
dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama.
Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam
konteks ke-Indonesia-an sastra. Ini ada salah satu contoh pantun dalam corak
sastra ke-Aceh-an. Pantun perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita
idaman.
Contoh
pantun:
limong limong kapai jitamong
dua go limong kapai jibungka/
nyo hantrok lon cot ngon reunong
nyan bungong lon pupo geulawa
Arti bebas pantun tersebut adalah
lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak bisa saya ambil
pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan saya. Dari segi umur pemakai terdapat bermacam
jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa. Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian
dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kawla muda.
Cae’ atau syair
adalah salah satu contoh dari prosa lama.
5.Cae’ atau syair adalah jenis prosa
liris.
Sementara itu
dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat),
legenda, fabel, haba jameun (cerita
rakyat/kabar zaman).
1. Hikayat adalah jenis prosa lama walaupun
ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi
liris,karena tipografinya seperti syair dan bersajak.
Jika dilihat
dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam
hikayat lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter),
konfliks dll. Umumnya hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja.
Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti
umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama
pengarang seperti hikayat Perang Sabil karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Di Aceh
sarat akan hikayat warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan
hikayat Malem Diwa.
2. Legenda adalah jenis cerita turun temurun
bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah
pulau dan sebagainya).
Contoh: Legenda Ahmad Rhangmanyang yang menjadi Pulau
Batu di Aceh Besar atau legenda Raja Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes,
Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi Gayo, Takengon), dan
legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan).
3. Fabel adalah cerita yang ditokohkan oleh binatang.
Jikapun
melibatkan tokoh manusia, namun tokoh binatang dalam cerita fabel lebih
dominan. Binatang menjadi aktor utama walaupun tanpa disutradarai oleh manusia
cerita tetap berjalan sukses demikianlah sebuah fabel dikisahkan. Contoh fabel
yang terkenal adalah Sang Kancil dan
Harimau, Lutung Kasarung, dan Kera
Sakti.
4. Haba Jameun (cerita rakyat) adalah
kabar zaman yang diriwatkan dari mulut ke mulut. Secara turun temurun.
Jika ada
cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun.
Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang.
Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau
editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar
Zaman Dari Aceh karya LK. Ara. Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku
tersebut adalah milik masyarakat Aceh. Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan
menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam Bahasa Indonesia.
Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti
berikut ini: bak jameun dile, na sibak
bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep… na saboh kisah,
yang artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama
kelamaan rusak rumah tinggal panggang… ada sebuah kisah. Contoh haba jameun : Abu Nawas dan Aneuk Yatim.
B.
Beberapa
Sastrawan Aceh pada Zaman Kerajaan Aceh
Para sastrawan Aceh memiliki kekuatan dan karakter
tersendiri. Misalnya, Hamzah Fanshuri (1575-1625). Seorang penyair sufi yang
karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh
mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya
yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah
satu kitab yang ditulisnya "Syarab al-asyiqin" atau "Minuman
segala orang yang berahi"
Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih
dikenal dengan Tgk Syiah Kuala (yang namanya kemudian dijadikan nama
universitas negeri di Aceh) juga banyak menuliskan kitab-kitab pendidikan dan
agama yang berisikan syair-syair ma’rifat.
Tgk Chik
Pante Kulu, juga seorang ulama besar. Dia
menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini cukup dikenal dan merakyat
dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk
mati syahid melawan kaphe Belanda.
Tgk. Mansoer Leupueng, dan beberapa sastrawan lainnya. Mereka termasuk angkatan yang telah banyak berbuat dalam menyelamatkan kesusastraan Aceh di saat-saat mengalami kemunduran. Terutama sekali Tgk.Mansoer Leupueng, ia banyak sekali menulis buku-buku cerita dalam bahasa Aceh, baik dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk sajak Aceh. Salah satu karyanya yang populer ketika itu adalah novel Sanggamara (menolak bahaya). Novel ini ditulis Tgk. Mansoer untuk mengembalikan jiwa sastra pada pemuda-pemuda Aceh yang saat itu dirasakan hampir lenyap, seperti dalam bait berikut: //Tameututo ngen bahsa droe/ Bahsa nanggroe nyang biasa/ Bahasa laen pih tapakoe/Beuhat rugoe bak beurkata//
Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Mereka juga berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan semuanya laki-laki. Pada masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis perempuan (kalaupun ada, belum terekspos).
Tgk. Mansoer Leupueng, dan beberapa sastrawan lainnya. Mereka termasuk angkatan yang telah banyak berbuat dalam menyelamatkan kesusastraan Aceh di saat-saat mengalami kemunduran. Terutama sekali Tgk.Mansoer Leupueng, ia banyak sekali menulis buku-buku cerita dalam bahasa Aceh, baik dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk sajak Aceh. Salah satu karyanya yang populer ketika itu adalah novel Sanggamara (menolak bahaya). Novel ini ditulis Tgk. Mansoer untuk mengembalikan jiwa sastra pada pemuda-pemuda Aceh yang saat itu dirasakan hampir lenyap, seperti dalam bait berikut: //Tameututo ngen bahsa droe/ Bahsa nanggroe nyang biasa/ Bahasa laen pih tapakoe/Beuhat rugoe bak beurkata//
Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa. Mereka juga berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan semuanya laki-laki. Pada masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis perempuan (kalaupun ada, belum terekspos).
Dua abad
terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat terus lahir di mana-mana.
Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga mulai menampakkan pengaruhnya
dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang melahirkan karya tulisan.
Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada satu pun karya yang mendunia
yang lahir pada saat zaman kemerdekaan. Ada beberapa sastrawan yang cukup
dikenal di nusantara (Indonesia dan dunia melayu). Salah satu yang paling
menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan
pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy.
Puisi "Menyesal"
karyanya masih dihafal dengan baik oleh anak-anak sekolah sampai ke pelosok
Aceh. Dia tidak hanya berkarya, namun juga sangat aktif dalam mengumpulkan
karya-karya sastra dan budaya yang ada di Aceh. Dia menulis buku "Aceh
dalam Sejarah" dan mendirikan museum A Hasjmy. Apa yang dikumpulkannya
sangat membantu bahan kajian sastra dan budaya yang dilakukan oleh para
peneliti.
Para sastrawan
Aceh yang menonjol pada zaman kemerdekaan antara lain TA Talsya, A Rivai
Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan
PMTOH, Mak Lapee dan
lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk.
Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya
berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk
sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya
adalah Hikayat Malem Dagang.
Angkatan
saat ini cukup banyak. Karya yang dihasilkan tidak hanya sebatas hikayat dan
syair, tetapi juga sudah mulai lahir novel, puisi modern, dan essai. Hanya saja
pada masa ini, publikasi sangat lemah, sehingga karya-karya yang ada, walaupun
banyak yang bagus, namun tidak dikenal luas. Angkatan setelah ini yang banyak berkarya dan
dikenal, antara lain: Hasyim KS, Ibrahim Kadir, Nurdin AR, LK Ara, Maskirbi, Tjoet Sofyan, Syamsul Kahar, Barlian AW, Rosni Idham dan
lain-lain. Karya-karya mereka juga sudah mulai dikenal di luar Aceh.
Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 tidak hanya
menghancurkan Aceh, namun juga membawa pergi sejumlah besar aset budaya dan
seniman di Aceh. Maskirbi, M Nurgani Asyik, Virsevenny, Siti Aisyah dan
beberapa nama lain ikut hilang bersama ombak.
Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh (PDIA) yang
menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA ikut lenyap
dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak.
Namun, bencana
ini juga membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang
mulai melirik dan ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh.
Apalagi setelah banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal
pun mulai bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya,
akhirnya terobati juga.
Penyair, budayawan
dan sastrawan muda pun mulai bermunculan. Mereka punya gaya lebih berani dan
bebas serta usianya berkisar antara 17-30 tahun. Keberadaannya juga dikenal
sampai tingkat dunia. Ada Azhari, Reza, Fauzan, Salman Yoga, Cut Januarita. Sebenarnya
mereka sudah mulai berkarya di awal tahun 2000-an.
izin copy
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino Resort - Mapyro
BalasHapusHarrah's Cherokee Casino 경기도 출장안마 Resort 성남 출장마사지 is located in the heart 경기도 출장샵 of the 태백 출장샵 Great Smoky Mountains of Western North Carolina 창원 출장안마 and is near the airport. This casino is